Selasa, 28 Juli 2009

peran bpom

BPOM sebagai regulator dan filter lalu lintas produk, terutama makanan dan obat-obatan, di Indonesia harus benar-benar jeli melihat dan secara rutin mengevaluasi peredaran barang-barang di lapangan. Sweeping serta investigasi terhadap produk baru atau lama harus rutin dijalankan, baik produk domestik maupun impor. Tidak hanya melihat secara kasatmata dan syarat administratif. Kalau perlu, dilakukan uji laboratorium.

Beberapa hari yang lalu jenis makanan abon yang kita kenal ternyata mengandung daging ‘babi celeng’. Bagi produsen karena pasar yang dibidik sudah jelas, tidak perlu mengikuti tren atau perilaku konsumen. Tinggal mengatur atau membentuk lingkaran setan saja dalam menjalankannya. Hal itulah yang terkadang disalahgunakan produsen. Seharusnya, produsen dan distributor tahu bahwa memproduksi dan atau mengedarkan abon yang berasal dari daging ‘babi celeng’ telah melanggar UU No 23/1992 tentang Kesehatan. Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Selain itu, melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tindakan tersebut bisa dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Memang, sampai saat ini belum ada yang mengganggap serius kasus itu.

Berbagai kasus tersebut seharusnya bisa menjadi guru berharga bagi BPOM serta Depkes untuk bertindak. Tidak hanya membuat public warning. Semua elemen yang terkait (BPOM, penegak hukum, kepolisian, dan masyarakat) harus diajak bekerja sama menindak tegas produsen obat berkimia tersebut.

BPOM juga harus benar-benar mengamati perubahan perilaku produsen dan konsumen, apa yang dilakukan dan terjadi di lapangan. Itulah perlunya meneliti serta mengontrol terus-menerus. Tidak hanya survei pasar untuk melihat harga dan lalu lintas produk-produk lama yang telah beredar, tapi juga meneliti produk-produk baru yang akan beredar ke masyarakat.

BPOM harus menetapkan standar yang ketat dan punya sumber intelijen serta informasi yang akurat terhadap lalu lintas produk di masyarakat sebagai dasar menetapkan keputusan. Untuk produk-produk impor, seharusnya produsen atau ekposter mempunyai quality control (QC) profesional yang ditempatkan di negara yang memproduksi produk.

Tidak ada komentar: