Selasa, 28 Juli 2009

budaya politik orde baru

. Pendahuluan Orde Baru yang telah ditinggalkan Bangsa Indonesia telah meninggalkan banyak warisan. Di bidang politik, dominasi eksekutif yang berakhir dengan dominasi lembaga kepresidenan telah menyebabkan banyak kerancuan. Presiden menjadi sangat berkuasa tidak hanya dalam konteks kelembagaan bahkan jabatan presiden telah berubah jadi personifikasi Soeharto. Pada akhir jabatannya, Soeharto seperti mengambil seluruh cabang kekuasaan di luar eksekutif yakni legislatif dan yudikatif.
Di bidang legislatif, presiden yang notabene daya jangkau kekuasaannya dalam bidang eksekutif mencampuri lembaga legislatif bahkan lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden menunjuk utusan golongan dan masyarakat separuh dari 1000 anggota MPR. Secara tak langsung, Soeharto ikut mempengaruhi isi dari lembaga tertinggi negara itu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Artikel ini akan meninjai apa yang jadi basis ideologi Orde Baru selama berkuasa 32 tahun. Dengan menggunakan kerangka yang digunakan Mohtar Masoed (1994), artikel ini berusaha menelusuri pilar-pilar kekuasaan Orde Baru.
Secara ringkas, konsepsi ideologi atau keyakinan terhadap gagasan pada masa Orde Baru bertumpu pada dua kekuatan yakni pembangunisme (developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI. Orde Baru sebenarnya ingin memberangus ideologi dengan melarang ideologi lain selain Pancasila. Namun, tulis R William Lidlle, keyakinan itu muncul karena kesalahan menafsirkan apa yang disebut ideologi. Liddle menilai, masyarakat tanpa ideologi sama dengan masyarakat tanpa konflik dan harapan. Ideologi sendiri sebenarnya menghasilkan peta realitas sosial yang bisa membedakan penyebab penting perilaku manusia dari yang tidak penting dan menjelaskan bagaimana masa lalu membentuk masa kini dan bagaimana masa kini membentuk masa depan. II. Ideologi Pembangunanisme Menurut Mohtar sebelum Orde Baru sudah ada kelompok intelektual yang mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan pada nilai rasionalisme, sekular pragmatisme dan internasionalisme . Nilai-nilai yang berdasarkan pada modernitas sekuler tetap hidup di kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang tahun 1960-an. Gagasan modernitas ini mendapat kekuatan baru karena kembalinya sejumlah intelektual reformasi yang baru meraih gelar doktor di AS dan adanya teori-teori ilmu sosial baru yang mendukun mereka. Sebelum lahir iedologi pembangunan yang digunakan Orde Baru di kemudian hari ada perlunya melihat tiga teori sosial yang mempengaruhi kalangan intelektual tahun 1960-an. Pertama, hipotesis Martin Lipset bahwa demokrasi politik umumnya terjadi setelah keberhasilan pembangunan ekonomi. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi. Ia mengambil kesimpulan ini setelah melihat sejarah pertumbuhan demokras-demokrasi di Barat. Kedua, pemikiran Daneil Bell tentang the end of ideology yang menyebutkan bahwa akibat kemajuan teknologi, pembangunan ekonomi di Barat telah berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi era Revolusi Industri. Oleh karena itu Barat tahun 1960-an menilai politik berdasarkan ideologi sebagai sesuatu yang sudah usang. Ia mengatakan yang berlaku sekarang adalah politik konsensus. Argumen Bell ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern, politisi tradisional harus minggir dan memberikan tempat kepada kalangan pakar yang dikenal dengan nama teknokrat. Ketiga, adanya pengaruh dari teori yang diajukan Samuel Huntington yang mengemukakan akibat negatif dari mobilisasi sosial tak terkendali di masyarakat sedang berkembang. Ia melihat yang penting bagi masyarakat adalah pelembagaan politik. Oleh karena itu pemerintah harus menyalurkan tuntutan rakyat dalam bentuk partisipasi yang tertib. Pemikiran yang berkembang di dunia internasional yang kemudian berdampak kepada kalangan intelektual yang bergandengan dengan Presiden Soeharto itu sangat kuat untuk melahirkan ideologi pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan merupakan titik strategis bagi Orde Baru untuk membangun Indonesia yang ditinggalkan Orde Lama. Mohtar Maso’ed mencatat unsur-unsur dari ideologi pembangunanisme ini. Dari berbagai pandangan awal Orde Baru, karya tulis Ali Moertopo (1972) menunjukkan pengaruh dari kalangan intelektual sipil yang mengelilinginya. Unsur-unsur ideologi ini adalah pembuatan kebijakan publik yang rasional, efisiensi, efektivitas dan pragmatisme. Unsur-unsur ini mengutamakan ketertiban. Oleh karena itu kemudian dirumuskan dalam bentuk pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Dwifungsi ABRI Berbicara soal ideologi yang kuat selama Orde Baru tak bisa dilepaskan dari doktrin wifungsi ABRI. Sebagai salah satu kekuatan yang tersisa setelah Partai Komunis Indonesia hancur, ABRI mau tidak mau menambah perannya tidak sekedar kekuatan pertahanan dan keamanan tetapi juga kekuatan sosial dan politik. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa stabilitas politik bisa tercipta kalau ada campur tangan ABRI dalam politik. Untuk itu ABRI mencari pembenaran campur tangan dalam politik. Namun pada awal perdebatan tentang peran ABRI, Mohtar memetakan persoalan yang dihadapi ABRI pada masa itu yang berpengaruh pada 32 tahun kemudian. Pada umumnya di kalangan ABRI dan intelektual yang bekerja sama dengan mereka terdapat perbedaan mengenai bagaimana sistem politik harus dibangun setelah Orde Lama runtuh. Kemudian berkembang dua peta pemikiran yang menghendaki reformasi sekarang dan nanti.
Kelompok Reformasi-Sekarang Kelompok Reformasi-Nanti
Reformasi politik cepat Anti-oligarki partai Dwifungsi ABRI:Mengutamakan “pembinaan wilayah” dan perwakilan politik dalam MPR Reformasi bertahap Berkompromi dan mengkooptasi kepemimpinan partai yang oligarkisDwifungsi ABRI :Mengutamakan kekaryaan dalam urusan non militer
Sumber: Mohtar, 1994, hal. 42. Mereka yang berpendapat pada reformasi sekarang menghendaki terciptanya sebuah partai massa untuk menandingi partai-partai yang ada. Dengan demikian diharapkan adanya sebuah partai yang pro pada sistem baru dan mendukung tatanan yang sedang dibangun untuk meninggalkan Orde Lama.Sebaliknya pendukung reformasi nanti menganggap penting untuk merebut kekuatan di birokrasi dan DPR. Langkah ini dianggapnya lebih penting ketimbang membentuk partai baru yang bisa dikalahkan kekuatannya di desa-desa oleh PNI dan NU. Dalam proses berikutnya, reformasi nanti mendapat tempat sehingga memperkuat dwifungsi ABRI dan membuka jalan bagi terpeliharanya posisi ABRI dalam politik. Apalagi gagasan Abdul Haris Nasution tentang dwifungsi yang dikatakan hanya sementara tidak tertarik lagi karena sudah terlalu dalam campur tangan ABRI dalam politik. Muncullah kemudian campur tangan dalam pemerintahan yang menggunakan kedok kekaryaan. Konsep kekaryaan ini lalu berkembang menjadi tak terkontrol sehingga akhirnya banyak sekali jabatan sipil baik di badan legislatif, eksekutif maupun yudikatif dipegang kalangan militer. Fenomena ini melahirkan transformasi struktur dan budaya militer masuk kedalam struktur eksekutif.
Penutup Secara sekilas telah diuraikan bahwa basis ideologi Orde Baru merujuk pada pembangunanisme dan Dwifungsi. Ini berarti bahwa dalam prakteknya, Orde Baru menggunakan lebih banyak keyakinan akan dua hal itu dibandingkan dengan Pancasila yang diakui sebagai ideologi negara. Alergi akan ideologi yang dialami kalangan intelektual pada era 1960-an merupakan salah satu penyebab mengapa pembangunanisme jadi dominan dalam prakteknya.Karena pembangunan menghendaki stabilitas maka dwifungsi ABRI jadi jaminan sehingga muncul keyakinan akan Doktrin Dwifungsi itu sebagai penyelamat pembangunan.
Daftar Pustaka Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978. Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
Anne Booth dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah, Ekonomi Orde Baru: The Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Benedict Anderson dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.
Liddle, Ri William, Cultural and class politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 1977. Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980.
Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia Press, 1971. Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation. Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.
Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds), Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika, 1995.
Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.

Tidak ada komentar: