Rabu, 29 Juli 2009

budaya konsumen ದಿ negara liberal

Budaya Konsumen, Universalisme: Bombardir Budaya Kapitalis

September 5, 2008 by lucysupratman

Budaya konsumerisme yang merupakan jantung dari kapitalisme adalah sebuah budaya yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk halusinasi, mimpi, artifisialitas, kemasan wujud komoditi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme.

Budaya konsumsen membuka peluang bagi konsumsi produktif dengan menjajikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan: menemukan kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup. Budaya konsumen, meski tidak sama dengan budaya masa kini, merupakan unsur utama dalam produksi budaya masa kini. Meskipun kelompok-kelompok yang berada di luar atau mencoba menjauhkan diri dari jangkauan pasar dan perilaku melawan arus, seperti misalnya sub-budaya remaja dan gerakan-gerakan sosial baru, dinamika proses pasar yang selalu mengejar yang ‘baru’ itu menyebabkan budaya konsumen dapat merajut dan mengolah ulang tradisi dan gaya hidup mutakhir.

Budaya masyarakat konsumen sering diberi ciri materialistis dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengungkapkan kemiskinan rohani dan tindakan mementingkan diri sendiri yang hedonistis dimana individu memusatkan kehidupannya pada konsumsi barang-barang. Pandangan ini sebenarnya mengatakan bahwa masyarakat telah memperlihatkan kemenangan rasionalitas ekonomi yang menyingkirkan adat istiadat tradisional serta nilai-nilai budaya leluhur dan menghasilkan budaya yang tidak menarik.

Seluruh kegiatan peragaan lay out bertujuan membuat barang tampak lebih bagus dari yang sebenarnya, dengan memanipulasi kesan di lay out itu. Logika pemajangan menghasilkan suatu situasi di mana makna dialihkan secara ‘ajaib’ ke barang melalui suatu proses elisi. Karena itu membeli barang berarti membeli kesan dan pengalaman, dan kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi ‘sederhana’, melainkan lebih merupakan interaksi simbolis di mana individu membeli dan mengkonsumsi kesan.

Tindakan membeli itu tergeser ke belakang, karena individu didorong untuk menikmati konsumsi gaya hidup. Para individu tersebut menjadi peraga yang sadar akan penampilannya dan kesan yang diberikannya ketika menyusuri dunia barang yang dipertontonkan dalam ruang-ruang di luas kota. Pariwisata dan kebun raya (Taman Mini Indonesia Indah/TMII dan Dunia Fantasi/DUFAN, misalnya) meneruskan logika ini sampai ke titik ekstremnya. Kedua-duanya menjual pengalaman, bukan menjual barang.

Inilah yang menyebabkan Jameson (1984) menempatkan budaya sebagai pemeran utama dalam reproduksi kapitalisme masa kini. “Karena unsur pokok masyarakat konsumen itulah tidak ada masyarakat yang dibanjiri tanda dan berbagai kesan seperti masyarakat ini.” Karena itu, ciri kedua budaya konsumen yang harus ditekankan adalah bahwa budaya konsumen ialah suatu budaya tempat berbagai kesan memainkan peranana utama. Sejauh ini telah dikemukakan betapa banyaknya makna baru terkait pada komoditi “material” melalui peragaan dan pesan iklan. Tetapi perlu pula dikemukakan, produksi berbagai kesan sebagai komoditi merupakan ciri utama budaya konsumen. Dan industri gambar hidup, surat kabar murah, media massa, majalah, dan televisi mencipta dan menyebarkan berbagai kesan tanpa henti. Kesan-kesan ini tidak dapat dikatakan membentuk ideologi pokok yang utuh karena kesan terus-menerus diproses ulang dan makna barang dan pengalaman tersebut didefiniskan kembali. Segala-galanya dapat dipertukarkan satu sama lain, dan tampaknya tidak ada batas ke mana berbagai makna yang jelas dan berdiri sendiri-sendiri dapat dipertukarkan. Seperti bintang film atau bintang pop menjadi tokoh politik (Arnold Swazneger, Gusti Randa), tokoh politik menjadi bintang film (Ruhut Sitompul, Ronald Reagen). Tradisi juga diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol ketampanan, roman, kemewahan, dan eksotika yang manjur. Kesan budaya konsumen dan iklan pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti-mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisonal dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Dalam arti inilah budaya konsumen itu menjadi suatu “dunia mimpi” yang mengandung suatu momen positif atau utopia dalam janjinya menciptakan barang berlimpah ruah.

Dalam budaya konsumen masa kini, gaya hidup mendapat kedudukan istimewa. Perilaku konsumsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus. Tekanan diletakan pada merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi (komoditi itu sendiri sudah merupakan pilihan) untuk menciptakan kesan gaya yang menyingkapkan individualitas pemiliknya.



Kekaburan Budaya Konsumen di Negara-negara Maju

Demistifikasi budaya intelektual umumnya dan menciptakan kekaburan baru dalam tata simbol, karena kegiatan media massa ini mengejar segala yang baru dalam tata symbol dan modern. Pertukaran ini, yaitu kepekaan kaum intelektual terhadap gaya baru dan permintaan pasar yang tak habis-habisnya akan barang dan gaya baru, menciptakan komoditi yang memungkinkan gaya berjalan lebih cepat, baik dari gaya avant garde ke gaya popular, atau dari gaya popular ke gaya avant garde, atau dari gaya popular ke gaya jet set.

Pemikiran Eiger (2003) mengenai kematian kehidupan sosial dan kemenangan budaya, mengandung pengertian bahwa budaya dan lingkup simbolis tidak dapat diringkas menjadi sebuah alam struktur sosial yang terpisah (kelas). Budaya tinggi dan seni “serius” di sini juga telah kehilangan transendensinya dan wewenang simbolisnya. Meski rumusan-rumusan ini jelas membayangkan runtuhnya pandangan Bourdieu mengenai kekuatan simbolis dan modal budaya dalam suatu kenyataan palsu, yang menyingkirkan satu perangkat perbedaan untuk menggantinya dengan perangkat baru yang menjamur tiada henti, lebih baik jika pada tahap ini rumusan Bourdie dilihat sebagai kecenderungan yang mengancam akan menggoyahkan perbedaan yang timbul dalam kaitan dengan permainan kalah-menang sosial. Walaupun kekuasaan Amerika Serikat ini jelas sekali terlihat di negara-negara pusat di barat, hal ini lebih menonjol di negara-negara pinggiran di Dunia Ketiga. Kalau kita berbicara tentang pengaruh global dan dampak budaya konsumen atas negara-negara pinggiran, tekanan harus diletakan pada media masa, dengan anggapan bahwa di negara-negara di luar negara pusat konsumsi sebagian besar rakyat jelata terbatas pada konsumsi kesan dalam media, sementara masyarakat tidak mampu mengembangkan prasarana produktif untuk memperluas konsumsi barang sehingga dapat mengembangkan seperangkat gaya hidup dan perilaku yang berorientasi di sekitar konsumsi. Ini tidak berarti bahwa banjir kesan yang dibawa media yang berpusat di barat itu tidak berpengaruh terhadap perilaku di Negara-negara dunia ketiga. Dengan meningkatnya dominasi ekonomi Amerika dalam hal produksi serta distribusi budaya melalui media, sering ditunjukkan bahwa negara-negara Dunia Ketiga menghadapi kesulitan berat dalam usaha mencoba menciptakan proteksionisme budaya untuk memelihara budaya-budaya asli. Negara-negara ini tidak hanya terbuka untuk membanjirnya film-film televisi Amerika, komedi bersambung dan sebagainya dengan sedikit biaya bagi produksi berbagai acara siaran lokal dan kegiatan-kegiatan “jalan belakang” perusahaan multinasional amerika serikat dalam pembelian agen-agen periklanan serta media nasional. Sebaiknya juga memperlihatkan bahwa kaum borjuis baru mereka sering bertindak sebagai perantara bagi budaya Amerika dalam memanfaatkan keangotaannya yang elite, yang mobile, dan kosmopolitan untuk menyebarluaskan barang-barang dan nilai-nilai budaya konsumen yang diambil dari pusat. Dominasi budaya yang progresif ini, yang sering diarahkan ke imperialisme budaya atau imperialisme media, telah dianggap sebagai ciri Amerikanisasi.

Amerikanisasi digunakan untuk menunjukan cara bagaimana film-film, televisi, dan produk-produk media lainnya umumnya dikemas dengan paket-paket orang Amerika atau gaya orang Amerika sebagai bagian dari suatu internasiolisasi konsumsi, pola-pola pemanfaatan waktu luang, pendidikan budaya remaja, bahasa dan mode kesadaran yang progresif.

Karena itu salah membaca arti pesan yang asli tampaknya sudah menjadi bagian dari penerimaan program dan benda budaya konsumen di negara-negara dunia ketiga. Ruang gerak untuk kesalahpahaman ini menjadi masalah bila budaya konsumen dianggap sebagai suatu ideologi yang mencakup seperangkat keyakinan. Selain itu, pengaruh besar budaya konsumen ialah menggoyahkan makna tanpa menggantinya dengan makna baru dengan batas-batas khusus pula. Jadi, salah satu cara yang memungkinkan produk-produk hasil budaya konsumen tidak membentuk masyarakat menjadi media kapitalis, yaitu dengan mendorong berkembangnya peranan pemberi tanda dan teks yang tertulis untuk menghilangkan kekaburan makna. ***

Tidak ada komentar: