Rabu, 29 Juli 2009

Kesadaran Kapitalisme

Kesadaran Kapitalisme – Conscious Capitalism


Oleh : yesi budiono

Patricia Aburdene dalam bukunya yang terkenal “Megatrend 2010″ memperkenalkan tentang suatu ide dan inovasi dalam kepemimpinan global yang menjadi sebuah kecenderungan berbagai korporasi dalam mengelola bisnis. Salah satu isu penting adalah “Kesadaran Kapitalisme” atau Conscious Capitalism, yaitu sebuah ide multidimensi tentang pengelolaan korporasi dengan mentransformasikan dan mengintegrasikan nilai social, ekonomi dan spiritual dalam bisnis.

Kesadaran kapitalisme ini bersifat multidimensi dan dipicu oleh berbagai factor dan fenomena yang multidimesi juga. Pemicu munculnya kesadaran kapitalisme ini diantaranya adalah karena tekanan dan tuntutan yang semakin besar dari masyarakat tentang akuntabilitas dan integritas dalam bisnis. Tekanan masyarakat akan akuntabilitas ini tidak terlepas dari isu dampak lingkungan (enviromental effect) dalam setiap aktivitas dan keputusan bisnis. Masyarakat berhak mendapatkan akses informasi secara terbuka dan transparan tentang proses bisnis dalam korporasi yang berpengaruh kepada penataan lingkungan yang lebih baik.

Istilah-istilah seperti environment governance, eco labelling, dan greener business menjadi suatu ukuran apakah sebuah korporasi memiliki akuntabilitas terhadap lingkungan atau tidak. Relasi bisnis dengan komunitas masyarakat dan konsumen menjadi suatu model baru dalam mentransformasikan pengelolaan korporasi ke model business yang “lebih hijau” (greener business model).

Kepemimpinan korporasi memegang peran penting dalam menciptakan kesadaran kapitalisme ini melalui sebuah proses bisnis yang menghargai pemilik saham dan pemegang saham. Kesadaran pemimpin korporasi dunia ini tidak terlepas dari kecenderungan masuknya nilai-nilai spiritual dalam proses dan aktivitas bisnis. Dalam Megatrend 2010, Aburdene menjelaskan tentang transformasi spiritual dalam kepemimpinan korporasi, yang sekarang didominasi bukan oleh kepemimpinan puncak, tetapi oleh kepemimpinan menengah.

Pertanyaan mendasar yang selalu diajukan dalam proses bisnis adalah: “apakah aktivitas bisnis yang dijalankan membuat dunia menjadi tempat lebih baik?”. Ini menunjukkan proses transformasi spiritual, nilai, dan moral dalam proses bisnis. Gejala ini juga nampak dalam berbagai korporasi di Indonesia melalui aktivitas spiritual yang digagas dan dirancang oleh korporasi untuk mendorong moral dan nilai karyawan. Demikian juga berbagai pelatihan dan training tentang bagaimana menerapkan aspek spiritualitas di tempat kerja (spiritual at work) menjadi suatu bentuk aktivitas baru di dalam korporasi. Ini dianggap merupakan manifestasi nilai transendental kedalam dunia nyata.

Peran Aktivis Lingkungan

Tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktivis lingkungan sangat besar dalam mendorong munculnya kesadaran akan penciptaan relasi baru antara kapitalisme dan pengelolaan lingkungan (environmental governance). Kapitalisme dalam bentuk awalnya adalah sebuah sistem kepemilikan kapital atau modal untuk suatu proses produksi yang mendatangkan laba dengan mengurangi biaya. Dampak dari pemaksimalan laba adalah dengan mencari sumber-sumber daya yang murah, dengan tenaga kerja murah, dan membuang semua biaya eksternal seperti penanganan limbah dan polusi. Kapitalisme akhirnya menciptakan polarisasi antara kemakmuran (wealth) dan kemiskinan (poverty), dan tanpa upaya atau intervensi terhadap proses kapitalisasi tersebut, maka kemakmuran hanya dinikmati sedikit orang, sedangkan kemiskinan berada di tangan mayoritas.

Reformasi kapitalisme mulai terjadi di tahun 1970, dengan ketika gerakan lingkungan di Amerika Serikat berhasil menggolkan berbagai aturan dan regulasi yang bersifat kontrol terhadap berbagai dampak buruk yang diakibatkan kegiatan ekonomi kapitalis, seperti: UU Air Bersih, UU Udara Bersih, Badan Perlindungan Lingkungan. Regulasi ini merupakan kontrol terhadap aktivitas ekonomi kapitalis yang berorientasi pemaksimalan laba (profit maximization). Reformasi kapitalisme ini menemukan waktunya karena globalisasi membuat pergerakan kapital menjadi sangat bebas, karena berbagai hambatan tarif, pajak, dan regulasi dalam perdagangan diminimalkan. Perdagangan bebas seperti ini sangat ideal bagi profit maximization.

Dewasa ini gerakan lingkungan yang berskala global semakin memainkan peran penting dalam mendorong perubahan perilaku dan aktivitas kapitalis menjadi “kapitalisme hijau” (green capitalism). Hal ini didorong oleh dampak dari pemanasan global (global warming) yang mulai dirasakan oleh penduduk muka bumi ini, seperti perubahan ikllim yang menciptakan ketidakpastian cuaca, kenaikan permukaan air laut, perubahan populasi hewan dan tanaman, banjir dan sebagainya. Kapitalisme Hijau adalah sebuah bentuk kapitalisme baru yang mengusahakan nilai lebih dari sebuah proses produksi melalui teknologi dan energi yang diperbaharui, reklamasi limbah, dan mereduksi polusi yang merupakan faktor utama dalam kehancuran lingkungan, namun tetap merupakan fungsi dari pemaksimalan laba.

Dalam bukunya yang berjudul “Environmental Science: A Global Concern”, Cunninghan W menjelaskan bahwa solusi terhadap persoalan lingkungan –yang sejatinya akar persoalannya adalah masalah sosial–adalah dengan sebuah revolusi aktivitas ekonomi dan sosial, menata ulang prioritas ekonomi ke arah pembangunan yang berkelanjutan dan memilih untuk pengalokasian dana untuk pembangunan sosial. Prioritas ekonomi kapitalisme tidak bisa ditata ulang, jika tidak menghancurkan proses kapitalisme model lama, dan merekonstruksinya kembali kedalam model kapitalisme yang lebih “berjiwa sosial” dan berkelanjutan.

Gerakan aktivis lingkungan dalam tahap ini sudah berhasil untuk merubah paradigma dan orientasi korporasi dalam menata ulang dan merekonstruksi proses bisnisnya untuk lebih memperhatikan isu global tentang lingkungan. Dan korporasi disadarkan tentang kapitalisme model baru yang lebih “bersahabat terhadap lingkungan” dan mengendepankan pembangunan sosial.

Konsumen Yang Memiliki Nilai

Perilaku konsumen dewasa ini memegang kunci penting bagi bangkitnya kesadaran korporasi untuk menata ulang proses bisnisnya yang didasarkan kepada nilai-nilai baru dari masyarakat sebagai konsumen. Aburdene menyebutnya sebagai “Kesadaran Konsumen” atau Conscious Consumer.

Nilai-nilai baru konsumen ini akan sangat bertentangan dengan paradigma kapitalisme lama, yang berorientasi hanya kepada pemaksimalan laba, tanpa memperhatikan dampak sosial dari aktivitas bisnis dari korporasi. Gerakan lingkungan sangat berpengaruh dalam perubahan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat sebagai konsumen. Korporasi yang mampu menciptakan produk dan jasa yang ramah lingkungan akan mendapatkan kredit lebih di mata konsumen. Karena itu korporasi berlomba-lomba menampilkan produk-produk yang selaras dengan isu lingkungan global, supaya konsumen menerimanya.

Di lain pihak berbagai korporasi mulai mendorong perhatiannya kepada upaya pembangunan sosial sebagai sebuah nilai tambah dalam menciptakan merek korporasi di mata konsumen. Korporasi yang tidak tanggap terhadap perubahan nilai konsumen ini akan di hukum oleh konsumen dengan tidak mengkonsumsi barang dan jasa korporasi tersebut. Upaya korporasi untuk menciptakan produk dan jasa yang selaras dengan nilai-nilai konsumen, bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari publik di pasar. Dan pada akhirnya terjadi peningkatan konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh korporasi tersebut.

Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Kesadaran kapitalisme menemukan bentuknya tahun 1990, ketika mulai terbentuk sebuah badan non profit di San Fransisco yang bernama Business for Social Responsibility (BSR) atau Bisnis untuk Tanggung Jawab Sosial. Dewasa ini hampir semua korporasi yang masuk dalam bursa dunia menjadi bagian dari BSR untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai Tanggung Jawab Sosial Korporasi (CSR: Corporate Social Responsibility).

CSR didefinisikan sebagai sebuah kebijakan, praktek, dan program korporasi yang bersifat komprehensif, yang mendapatkan keberhasilan finansial melalui penghargaan terhadap nilai etika, manusia, komunitas dan lingkungan alam. CSR adalah sebuah bentuk conscious capitalism dari korporasi yang memahami bahwa setiap aktivitas dan proses bisnisnya memberikan dampak terhadap konstituennya, baik sebagai stock holder maupun stakeholder (karyawan, konsumen, pemasok, maupun komunitas lingkungan di sekitarnya).

Dengan CSR, korporasi memiliki tanggung jawab dan komitmen yang berkelanjutan untuk bertindak secara etika dalam operasinya, serta memperhatikan pembangunan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup di tempat kerja, keluarga, komunitas lokal, dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam model CSR yang konvensional, korporasi mengalokasikan laba yang diperoleh untuk suatu aktivitas sosial atau amal dan mendapatkan keuntungan dari setiap aktivitas sosial tersebut. Aktivitas sosial ini juga mencakup bagaimana upaya untuk memelihara lingkungan sekitar dari dampak yang diakibatkan oleh operasi korporasi.

Model seperti ini tentunya tidak berkelanjutan. Karena itu tantangan dari implementasi CSR ini adalah bagaimana korporasi mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam penciptaan kemakmuran sosial. Korporasi perlu memikirkan bagaimana melakukan investasi dalam komunitas untuk mendorong produktivitas masyarakat, melalui berbagai upaya penciptaan usaha-usaha produktif di masyarakat. Salah satu konsep yang selaras dengan ini adalah konsep bapak angkat bagi industri kecil atau usaha skala kecil. Investasi seperti ini akan menjadi bagian penting dalam proses penciptaan kemakmuran sosial, karena tersedianya lapangan kerja baru di masyarakat.

Penutup

Indonesia menjadi tempat dimana dampak dari sebuah operasi korporasi yang tidak memperhatikan lingkungan dan sosial kelihatan secara nyata. Mulai dari lingkungan yang rusak parah sampai kemiskinan yang masih menerpa sebagian besar masyarakat. Dan hal itu diakibatkan tidak adanya tanggung jawab dari korporasi untuk melakukan upaya pemeliharaan lingkungan dan upaya sosial untuk membantu menciptakan kemakmuran bersama.

Kerusakan hutan di pulau Kalimantan dan Papua adalah contoh konkrit dari sebuah korporasi yang tidak peduli dengan isu global lingkungan. Hal ini diperparah oleh ketidakmampuan negara kita dalam menegakkan regulasi yang sudah dibuat terhadap korporasi yang melakukan tindakan kriminal seperti itu. Negara memiliki tanggung jawab untuk mendorong korporasi berperilaku secara etika dalam operasinya dengan penegakan hukum yang jelas dan tidak diskriminatif. Jika negara gagal dalam menegakan aturan hukum ini, maka isu kerusakan lingkungan–yang diakibatkan oleh berbagai korporasi yang beroperasi di negara kita–tidak akan ditolerir oleh masyarakat global. Karena kecenderungan global yang menempatkan nilai tanggung jawab sosial sebagai bagian dari kesadaran kapitalisme baru.

Kemiskinan juga merukan suatu masalah sosial yang perlu dipikirkan oleh korporasi yang beroperasi di Indonesia. Jika efisiensi biaya harus mengorbankan hak-hak pekerja untuk mendapatkan upah yang layak dan memadai, maka perlu suatu aturan dan regulasi yang melindungi hak-hak pekerja secara memadai. Dengan demikian korporasi tunduk kepada regulasi yang melindungi pekerja. Tetapi menjadi dilematis ketika korporasi berhadapan dengan ekonomi biaya tinggi yang mengakibatkan tidak kompetitifnya dengan negara lain. Dan tentu saja perbaikan atas buruknya layanan publik dan birokrasi menjadi kunci untuk memangkas waktu dan biaya yang sangat membebani operasi korporasi di Indonesia. Dan pada gilirannya korporasi memiliki kemampuan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya.

Pemerintah perlu mendorong dan menciptakan iklim bagi terciptanya suatu korporasi yang memiliki kemampuan dalam berkontribusi terhadap pembangunan sosial, melalui berbagai regulasi, aturan, penegakan hukum, dan pengurangan birokrasi. Ini untuk menekan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan korporasi milik negara (BUMN) sudah seharusnya menjadi pioner dalam melaksanakan tanggung jawab pembangunanan sosial.

Arus deras kesadaran kapitalisme ini perlu direspon dan disikapi secara tepat oleh pemerintah, sebagai sebuah terobosan bagi partisipasi swasta dan korporasi dalam membangun negara kita, dengan memberikan kemudahan dan infrastruktur yang memadai serta memungkinkan sebuah tanggung jawab sosial korporasi diimplementasikan. Jika itu dilakukan, tugas pemerintah menjadi lebih ringan, karena memerangi kemiskinan juga menjadi tanggung jawab bersama.

Tidak ada komentar: