Selasa, 28 Juli 2009

perdagangan bebas

Berbagai teori ekonomi internasional secara jelas menunjukan bahwa segala keuntungan dari perdagangan bebas diperuntukan sebagian besar bagi pihak konsumen. Tanpa mengambil teori yang berbelit-berbelit, kita dapat mengambil parameter yang paling lugas: harga barang yang lebih murah. Berdasarkan hukum permintaan semakin murah harga barang semakin banyak permintaan barang tersebut. Dalam kata lain, konsumen memiliki daya beli tinggi untuk membeli barang tersebut.

Permasalahan terletak pada sudut pandang para pembangun teori yang menggunakan pendekatan konsep utilitarian. Walaupun dalam teori-teori ekonomi perdagangan internasional mengakui bahwa akan ada sebagian orang dirugikan (worse-off), dalam sudut pandang utilitarian dikombinasikan dalam rerangka general equilibrium secara umum masyarakat yang diuntungkan (better-off) dari perdagangan bebas lebih banyak dari yang dirugikan (meskipun lagi-lagi dengan banyak asumsi yang harus dipenuhi).

Terlihat bahwa bukanlah “masyarakat” yang diuntungkan namun sifat “konsumtif”-lah yang diuntungkan dari perdagangan bebas. Padahal jauh sebelumnya, di awal abad ke-20, Ekonomi terkemuka J. M. Keynes telah memeringatkan bahwa konsumsi adalah salah satu pengeluaran yang pasif karena tidak dapat menciptakan efek multiplier yang baik. Teori ini didukung oleh R. Sollow dalam teori pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya yang menghasilkan kesimpulan bahwa tabungan/investasi (sebagai kebalikan dari konsumsi) merupakan modal menuju kemapanan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hal senada juga dikemukakan oleh para tokoh ekonom Ricardian yang menyatakan konsumsi (apalagi yang dibiayai melalui utang) adalah salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek yang bakal ”mengorbankan” generasi berikutnya.

Kembali ke perdagangan bebas, berangkat dari pernyataan bahwa investasi/tabungan adalah modal pertumbuhan jangka panjang, dan bukannya konsumsi, apakah mungkin fenomena perdagangan bebas bagi suatu negara, misalnya Indonesia, akan menguntungkan? Bisa saja, asalkan barang-barang yang cenderung diimpor adalah barang yang memiliki nilai investasi. Dengan kata lain, pada akhirnya impor itu sendiri akan masuk ke dalam proses penambahan nilai (added value) di dalam negeri yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai parameter pertumbuhan yang lebih baik.

Namun demikian, pada kenyataannya barang-barang impor yang ada di Indonesia dan beberapa negara berkembang lebih cenderung kepada barang-barang konsumtif yang memiliki nilai investasi yang rendah. Celakanya, barang-barang tersebut lebih kepada pemuasan status sosial di masyarakat yang pada akhirnya akan meciptakan penyakit sosial di masyarakat. Permasalahan yang belum bisa ditangkap oleh ilmu ekonomi modern.

Lebih parah lagi jika aturan main yang terjadi dalam konstelasi perdagangan internasional masih sarat akan sikap-sikap diskriminatif dan berbau kebijakan ganda. Teori ideal yang pada awalnya runtuh hanya karena asumsi yang gagal, kembali harus hancur berkeping-keping karena adanya agen-agen yang memang secara sengaja mengacau demi kepentingan sedikit pihak. Misalnya pelarangan kebijakan proteksi bagi negara berkembang, pengetatan standar barang oleh negara maju (non-tariff barriers), dan lain-lain yang sebenarnya malah mengacau-balaukan konsep ideal perdagangan bebas. Lalu apakah perdagangan bebas masih relevan?

Masih! Selama segalanya prasyarat (termasuk perilaku sosial, ekonomi dan institusi) telah berada pada tempatnya masing-masing untuk menciptakan situasi perdagangan bebas yang adil dan produktif. Sayangnya ide ini tidak dapat terlaksana jika terjadi masih terjadi penyeragaman konsep pemikiran akan perdagangan bebas dengan teori-teori generik yang tidak pandang bulu. Globalisasi dan integrasi ekonom dunia sudah di ambang mata, nampaknya permasalahan yang masih debatable ini menjadi tantangan bagi para ekonom untuk segera mencari teori-teori perdagangan yang sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh umat manusia di se

Tidak ada komentar: