Rabu, 29 Juli 2009

Kesadaran Kapitalisme

Kesadaran Kapitalisme – Conscious Capitalism


Oleh : yesi budiono

Patricia Aburdene dalam bukunya yang terkenal “Megatrend 2010″ memperkenalkan tentang suatu ide dan inovasi dalam kepemimpinan global yang menjadi sebuah kecenderungan berbagai korporasi dalam mengelola bisnis. Salah satu isu penting adalah “Kesadaran Kapitalisme” atau Conscious Capitalism, yaitu sebuah ide multidimensi tentang pengelolaan korporasi dengan mentransformasikan dan mengintegrasikan nilai social, ekonomi dan spiritual dalam bisnis.

Kesadaran kapitalisme ini bersifat multidimensi dan dipicu oleh berbagai factor dan fenomena yang multidimesi juga. Pemicu munculnya kesadaran kapitalisme ini diantaranya adalah karena tekanan dan tuntutan yang semakin besar dari masyarakat tentang akuntabilitas dan integritas dalam bisnis. Tekanan masyarakat akan akuntabilitas ini tidak terlepas dari isu dampak lingkungan (enviromental effect) dalam setiap aktivitas dan keputusan bisnis. Masyarakat berhak mendapatkan akses informasi secara terbuka dan transparan tentang proses bisnis dalam korporasi yang berpengaruh kepada penataan lingkungan yang lebih baik.

Istilah-istilah seperti environment governance, eco labelling, dan greener business menjadi suatu ukuran apakah sebuah korporasi memiliki akuntabilitas terhadap lingkungan atau tidak. Relasi bisnis dengan komunitas masyarakat dan konsumen menjadi suatu model baru dalam mentransformasikan pengelolaan korporasi ke model business yang “lebih hijau” (greener business model).

Kepemimpinan korporasi memegang peran penting dalam menciptakan kesadaran kapitalisme ini melalui sebuah proses bisnis yang menghargai pemilik saham dan pemegang saham. Kesadaran pemimpin korporasi dunia ini tidak terlepas dari kecenderungan masuknya nilai-nilai spiritual dalam proses dan aktivitas bisnis. Dalam Megatrend 2010, Aburdene menjelaskan tentang transformasi spiritual dalam kepemimpinan korporasi, yang sekarang didominasi bukan oleh kepemimpinan puncak, tetapi oleh kepemimpinan menengah.

Pertanyaan mendasar yang selalu diajukan dalam proses bisnis adalah: “apakah aktivitas bisnis yang dijalankan membuat dunia menjadi tempat lebih baik?”. Ini menunjukkan proses transformasi spiritual, nilai, dan moral dalam proses bisnis. Gejala ini juga nampak dalam berbagai korporasi di Indonesia melalui aktivitas spiritual yang digagas dan dirancang oleh korporasi untuk mendorong moral dan nilai karyawan. Demikian juga berbagai pelatihan dan training tentang bagaimana menerapkan aspek spiritualitas di tempat kerja (spiritual at work) menjadi suatu bentuk aktivitas baru di dalam korporasi. Ini dianggap merupakan manifestasi nilai transendental kedalam dunia nyata.

Peran Aktivis Lingkungan

Tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktivis lingkungan sangat besar dalam mendorong munculnya kesadaran akan penciptaan relasi baru antara kapitalisme dan pengelolaan lingkungan (environmental governance). Kapitalisme dalam bentuk awalnya adalah sebuah sistem kepemilikan kapital atau modal untuk suatu proses produksi yang mendatangkan laba dengan mengurangi biaya. Dampak dari pemaksimalan laba adalah dengan mencari sumber-sumber daya yang murah, dengan tenaga kerja murah, dan membuang semua biaya eksternal seperti penanganan limbah dan polusi. Kapitalisme akhirnya menciptakan polarisasi antara kemakmuran (wealth) dan kemiskinan (poverty), dan tanpa upaya atau intervensi terhadap proses kapitalisasi tersebut, maka kemakmuran hanya dinikmati sedikit orang, sedangkan kemiskinan berada di tangan mayoritas.

Reformasi kapitalisme mulai terjadi di tahun 1970, dengan ketika gerakan lingkungan di Amerika Serikat berhasil menggolkan berbagai aturan dan regulasi yang bersifat kontrol terhadap berbagai dampak buruk yang diakibatkan kegiatan ekonomi kapitalis, seperti: UU Air Bersih, UU Udara Bersih, Badan Perlindungan Lingkungan. Regulasi ini merupakan kontrol terhadap aktivitas ekonomi kapitalis yang berorientasi pemaksimalan laba (profit maximization). Reformasi kapitalisme ini menemukan waktunya karena globalisasi membuat pergerakan kapital menjadi sangat bebas, karena berbagai hambatan tarif, pajak, dan regulasi dalam perdagangan diminimalkan. Perdagangan bebas seperti ini sangat ideal bagi profit maximization.

Dewasa ini gerakan lingkungan yang berskala global semakin memainkan peran penting dalam mendorong perubahan perilaku dan aktivitas kapitalis menjadi “kapitalisme hijau” (green capitalism). Hal ini didorong oleh dampak dari pemanasan global (global warming) yang mulai dirasakan oleh penduduk muka bumi ini, seperti perubahan ikllim yang menciptakan ketidakpastian cuaca, kenaikan permukaan air laut, perubahan populasi hewan dan tanaman, banjir dan sebagainya. Kapitalisme Hijau adalah sebuah bentuk kapitalisme baru yang mengusahakan nilai lebih dari sebuah proses produksi melalui teknologi dan energi yang diperbaharui, reklamasi limbah, dan mereduksi polusi yang merupakan faktor utama dalam kehancuran lingkungan, namun tetap merupakan fungsi dari pemaksimalan laba.

Dalam bukunya yang berjudul “Environmental Science: A Global Concern”, Cunninghan W menjelaskan bahwa solusi terhadap persoalan lingkungan –yang sejatinya akar persoalannya adalah masalah sosial–adalah dengan sebuah revolusi aktivitas ekonomi dan sosial, menata ulang prioritas ekonomi ke arah pembangunan yang berkelanjutan dan memilih untuk pengalokasian dana untuk pembangunan sosial. Prioritas ekonomi kapitalisme tidak bisa ditata ulang, jika tidak menghancurkan proses kapitalisme model lama, dan merekonstruksinya kembali kedalam model kapitalisme yang lebih “berjiwa sosial” dan berkelanjutan.

Gerakan aktivis lingkungan dalam tahap ini sudah berhasil untuk merubah paradigma dan orientasi korporasi dalam menata ulang dan merekonstruksi proses bisnisnya untuk lebih memperhatikan isu global tentang lingkungan. Dan korporasi disadarkan tentang kapitalisme model baru yang lebih “bersahabat terhadap lingkungan” dan mengendepankan pembangunan sosial.

Konsumen Yang Memiliki Nilai

Perilaku konsumen dewasa ini memegang kunci penting bagi bangkitnya kesadaran korporasi untuk menata ulang proses bisnisnya yang didasarkan kepada nilai-nilai baru dari masyarakat sebagai konsumen. Aburdene menyebutnya sebagai “Kesadaran Konsumen” atau Conscious Consumer.

Nilai-nilai baru konsumen ini akan sangat bertentangan dengan paradigma kapitalisme lama, yang berorientasi hanya kepada pemaksimalan laba, tanpa memperhatikan dampak sosial dari aktivitas bisnis dari korporasi. Gerakan lingkungan sangat berpengaruh dalam perubahan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat sebagai konsumen. Korporasi yang mampu menciptakan produk dan jasa yang ramah lingkungan akan mendapatkan kredit lebih di mata konsumen. Karena itu korporasi berlomba-lomba menampilkan produk-produk yang selaras dengan isu lingkungan global, supaya konsumen menerimanya.

Di lain pihak berbagai korporasi mulai mendorong perhatiannya kepada upaya pembangunan sosial sebagai sebuah nilai tambah dalam menciptakan merek korporasi di mata konsumen. Korporasi yang tidak tanggap terhadap perubahan nilai konsumen ini akan di hukum oleh konsumen dengan tidak mengkonsumsi barang dan jasa korporasi tersebut. Upaya korporasi untuk menciptakan produk dan jasa yang selaras dengan nilai-nilai konsumen, bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari publik di pasar. Dan pada akhirnya terjadi peningkatan konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh korporasi tersebut.

Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Kesadaran kapitalisme menemukan bentuknya tahun 1990, ketika mulai terbentuk sebuah badan non profit di San Fransisco yang bernama Business for Social Responsibility (BSR) atau Bisnis untuk Tanggung Jawab Sosial. Dewasa ini hampir semua korporasi yang masuk dalam bursa dunia menjadi bagian dari BSR untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai Tanggung Jawab Sosial Korporasi (CSR: Corporate Social Responsibility).

CSR didefinisikan sebagai sebuah kebijakan, praktek, dan program korporasi yang bersifat komprehensif, yang mendapatkan keberhasilan finansial melalui penghargaan terhadap nilai etika, manusia, komunitas dan lingkungan alam. CSR adalah sebuah bentuk conscious capitalism dari korporasi yang memahami bahwa setiap aktivitas dan proses bisnisnya memberikan dampak terhadap konstituennya, baik sebagai stock holder maupun stakeholder (karyawan, konsumen, pemasok, maupun komunitas lingkungan di sekitarnya).

Dengan CSR, korporasi memiliki tanggung jawab dan komitmen yang berkelanjutan untuk bertindak secara etika dalam operasinya, serta memperhatikan pembangunan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup di tempat kerja, keluarga, komunitas lokal, dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam model CSR yang konvensional, korporasi mengalokasikan laba yang diperoleh untuk suatu aktivitas sosial atau amal dan mendapatkan keuntungan dari setiap aktivitas sosial tersebut. Aktivitas sosial ini juga mencakup bagaimana upaya untuk memelihara lingkungan sekitar dari dampak yang diakibatkan oleh operasi korporasi.

Model seperti ini tentunya tidak berkelanjutan. Karena itu tantangan dari implementasi CSR ini adalah bagaimana korporasi mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam penciptaan kemakmuran sosial. Korporasi perlu memikirkan bagaimana melakukan investasi dalam komunitas untuk mendorong produktivitas masyarakat, melalui berbagai upaya penciptaan usaha-usaha produktif di masyarakat. Salah satu konsep yang selaras dengan ini adalah konsep bapak angkat bagi industri kecil atau usaha skala kecil. Investasi seperti ini akan menjadi bagian penting dalam proses penciptaan kemakmuran sosial, karena tersedianya lapangan kerja baru di masyarakat.

Penutup

Indonesia menjadi tempat dimana dampak dari sebuah operasi korporasi yang tidak memperhatikan lingkungan dan sosial kelihatan secara nyata. Mulai dari lingkungan yang rusak parah sampai kemiskinan yang masih menerpa sebagian besar masyarakat. Dan hal itu diakibatkan tidak adanya tanggung jawab dari korporasi untuk melakukan upaya pemeliharaan lingkungan dan upaya sosial untuk membantu menciptakan kemakmuran bersama.

Kerusakan hutan di pulau Kalimantan dan Papua adalah contoh konkrit dari sebuah korporasi yang tidak peduli dengan isu global lingkungan. Hal ini diperparah oleh ketidakmampuan negara kita dalam menegakkan regulasi yang sudah dibuat terhadap korporasi yang melakukan tindakan kriminal seperti itu. Negara memiliki tanggung jawab untuk mendorong korporasi berperilaku secara etika dalam operasinya dengan penegakan hukum yang jelas dan tidak diskriminatif. Jika negara gagal dalam menegakan aturan hukum ini, maka isu kerusakan lingkungan–yang diakibatkan oleh berbagai korporasi yang beroperasi di negara kita–tidak akan ditolerir oleh masyarakat global. Karena kecenderungan global yang menempatkan nilai tanggung jawab sosial sebagai bagian dari kesadaran kapitalisme baru.

Kemiskinan juga merukan suatu masalah sosial yang perlu dipikirkan oleh korporasi yang beroperasi di Indonesia. Jika efisiensi biaya harus mengorbankan hak-hak pekerja untuk mendapatkan upah yang layak dan memadai, maka perlu suatu aturan dan regulasi yang melindungi hak-hak pekerja secara memadai. Dengan demikian korporasi tunduk kepada regulasi yang melindungi pekerja. Tetapi menjadi dilematis ketika korporasi berhadapan dengan ekonomi biaya tinggi yang mengakibatkan tidak kompetitifnya dengan negara lain. Dan tentu saja perbaikan atas buruknya layanan publik dan birokrasi menjadi kunci untuk memangkas waktu dan biaya yang sangat membebani operasi korporasi di Indonesia. Dan pada gilirannya korporasi memiliki kemampuan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya.

Pemerintah perlu mendorong dan menciptakan iklim bagi terciptanya suatu korporasi yang memiliki kemampuan dalam berkontribusi terhadap pembangunan sosial, melalui berbagai regulasi, aturan, penegakan hukum, dan pengurangan birokrasi. Ini untuk menekan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan korporasi milik negara (BUMN) sudah seharusnya menjadi pioner dalam melaksanakan tanggung jawab pembangunanan sosial.

Arus deras kesadaran kapitalisme ini perlu direspon dan disikapi secara tepat oleh pemerintah, sebagai sebuah terobosan bagi partisipasi swasta dan korporasi dalam membangun negara kita, dengan memberikan kemudahan dan infrastruktur yang memadai serta memungkinkan sebuah tanggung jawab sosial korporasi diimplementasikan. Jika itu dilakukan, tugas pemerintah menjadi lebih ringan, karena memerangi kemiskinan juga menjadi tanggung jawab bersama.

ekonomi indonesia

Pendahuluan
Wajah perekonomian Indonesia menjelang Pemilu tahun 2009 terkait erat dengan kemampuan Pemerintahan SBY-JK mengelola kebijakan di bidang ekonomi pada sisa masa pemerintahannya, yang kini kurang dari dua tahun. Target-target perekonomian pemerintahan ini sesungguhnya dapat dilihat dalam rumusan tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009.2 Menurut Pasal 4 ayat 2 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden, seperti yang telah dikampanyekan selama proses Pemilihan Presiden. Artinya, visi, misi dan program setiap (calon) Presiden harus mewujud dalam bentuk RPJMN, begitu ia terpilih sebagai Presiden, dan menjadi pedoman kebijakan pemerintahannya selama lima tahun ke depan. Hal ini, sampai tahun 2024, telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-20253. UU ini membagi periodesasi lima tahunan kepemimpinan nasional secara jangka panjang 20 tahun ke depan dimulai tahun 2005. Pemerintahan SBY-JK merupakan pemerintahan pertama dalam sejarah Indonesia kontemporer yang memulai pelaksanaan RPJMN. Pada tahun 2001, Perubahan Ketiga terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang menghilangkan tugas MPR yang menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai program lima tahunan suatu pemerintahan. MPR tidak lagi berwewenang menetapkan program pemerintahan lima tahunan karena Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi langsung oleh rakyat. Pedoman program Pemerintah lima tahunan, RPJMN, cukup ditetapkan melalui Peraturan Presiden oleh Presiden terpilih. Dengan demikian, Presiden sebagai pemimpin pemerintahan bertanggung jawab penuh atas keberhasilan program-program yang telah dijanjikannya dalam Pemilu. RPJMN itu menjadi pegangan dan sekaligus ukuran kinerja pemerintahan setiap lima tahunan. Dengan ukuran-ukuran RPJMN 2004-2009, sesungguhnya kinerja pemerintahan SBY-JK selama lima tahun dapat dievaluasi keberhasilannya secara transparan. Keberhasilan itulah yang menjadi modal utama bagi seorang Presiden untuk maju kedua kalinya pada pemilihan berikutnya4. Benar, seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla5, Pemerintahan SBY-JK dengan demikian harus mampu menjelaskan apa (keberhasilan) yang telah dicapai, bukan (janji) apa yang akan dikerjakan, bila keduanya ingin maju lagi bersama atau sendiri-sendiri pada Pemilu 2009 nanti. Logika pernyataan ini, bagi Presiden incumbent yang terutama akan ditanya oleh rakyat adalah kerjanya selama ini. Karena kerja pemerintahan adalah kinerja bersama, tentu lebih mudah mengevaluasi kinerja pemerintahan, jika Presiden dan Wakil Presiden maju kembali secara bersama pada pemilu berikut dibanding jika mereka maju secara sendiri-sendiri.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengukur kinerja pemerintahan pada kurun tahun transisi. Karena jangkar utama kinerja pemerintahan adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pada tahun-tahun transisi, perencanaan dan pelaksanaan APBN bisa saja dilakukan oleh dua pemerintahan berbeda. Sebagai contoh, APBN tahun 2005 direncanakan oleh Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, melalui Nota Keuangan Presiden yang disampaikan kepada DPR pada 16 Agustus 2004, yang kemudian disetujui bersama DPR periode 1999-2004. Pemerintahan SBY-JK yang dilantik 20 Oktober 2004 tentu harus melaksanakan UU APBN 2005 yang telah disahkan itu. Hal yang sama juga akan terjadi pada APBN tahun 2010 (bila SBY tidak terpilih lagi pada Pemilu 2009) atau pada APBN 2015 (bila SBY terpilih tahun 2009). Pada APBN 2009, APBN tidak sepenuhnya dilaksanakan pemerintahan SBY-JK karena berakhir Oktober 2009, kecuali terpilih kembali. Dengan demikian, penilaian atas APBN 2006, 2007 dan 2008 sepenuhnya tanggung jawab pemerintahan SBY-JK karena pada APBN tahun-tahun tersebut direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintahan ini. Sementara untuk APBN 2005 atau APBN dimana fungsi perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan dua pemerintahan berbeda, evaluasi harus dilakukan secara adil di antara penyusun rencana dan pelaksana APBN. Masalah ini timbul karena di negeri ini kalender anggaran pemerintahan dan kalender kepemimpinan politik tidak berlaku sama6. Logika ini seharusnya juga berlaku untuk evaluasi kinerja APBD, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.


Kinerja Tiga Tahun
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan. Pertumbuhan ekonomi era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun 1980 dengan angka 9,9%, seperti terlihat pada Tabel 1. Tentu relatif lebih sulit menilai kinerja Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999) dan Presiden Abdurahman Wahid (20 Oktober 1999–23 Juli 2001), karena pemerintahannya relatif pendek, dimana fungsi perencanaan dan pelaksanaan APBN tidak sepenuhnya dilakukan mereka. Sedangkan pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001-20 Oktober 2004), yang lebih panjang dari dua Presiden sebelumnya, menunjukkan tren yang meningkat. Tren yang sama sebenarnya terjadi di semua pemerintahan setelah reformasi, dengan fluktuasi yang berbeda. Misalnya, Habibie mampu mengubah pertumbuhan ekonomi negatif menjadi positif secara signifikan dengan prestasi year on year 12,3%. Abdurrahman Wahid mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi yang pertama sejak krisis 1997. Megawati mampu menjaga pertumbuhan ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus menerus tiap tahunnya. SBY-JK mencatat pertumbuhan ekonomi yang mulai solid di atas 6% dan menjadi benchmark bagi perekonomian yang mulai stabil. Apakah ini berarti dengan memberi waktu yang cukup bagi suatu pemerintahan, misalnya minimal lima tahun, maka pertumbuhan ekonomi yang stabil dapat dicapai?

Pada tahun 2005, 2006 dan 2007, pertumbuhan ekonomi berturut-turut mencapai angka 5,6%, 5,5% dan 6,3%. Angka ini dibandingkan dengan target RPJMN untuk tahun 2005 (5,5%), 2006 (6,1%) dan 2007 (6,7%) terlihat tidak begitu menggembirakan. Bila target rata-rata lima tahun seperti tercantum pada RPJMN dari pemerintahan SBY-JK terhadap pertumbuhan ekonomi 6,6% per tahun, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2008 dan 2009 haruslah diupayakan minimal rata-rata 7,8%. Bila dapat dicapai perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sebesar 6,8% (asumsi APBN 2008) dan tahun 2009 sebesar 7,6% (target RPJMN), maka rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%. Para ekonom tampaknya sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi minimal di atas 6% saja yang dapat dijadikan barometer Indonesia sudah mampu melihat the light at the end of dark tunnel,7 keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Tabel 1.
Pertumbuhan PDB Indonesia

7jn7_table1.jpg














Data : BPS
Catatan : *) Q3 tahun 2007
**) Asumsi APBN 2008
***) Target RPJM 2004-2009

Inflasi 2005: Otoritas Moneter versus Otoritas Fiskal
Kilas balik tahun pertama, pemerintahan SBY-JK menghadapi gejolak harga minyak dunia. Kebijakan menaikkan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelumnya Maret 2005, ternyata berimbas pada situasi perekonomian tahun-tahun berikutnya. Pemerintahan SBY-JK memang harus menaikkan harga BBM dalam menghadapi tekanan APBN yang makin berat karena lonjakan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM tersebut telah mendorong tingkat inflasi Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005 dan akhirnya ditutup dengan angka 17,1% per Desember 30, 2005 (YoY). Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%. Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%. Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari 2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%. Yang menarik, Gubernur BI memprediksi inflasi tahun 2005 sebesar 14%8 dan Menteri PPN/BAPPENAS lebih berani lagi menjanjikan inflasi 2005 tidak akan lebih 12%.9

Perbedaan prediksi inflasi, akibat kenaikan harga BBM, oleh pemegang otoritas moneter dan fiskal ini menimbulkan pertanyaan tentang pola koordinasi kebijakan, karena inflasi aktual pada tahun 2005 jauh di atas prediksi mereka. Kedua otoritas ini tidak siap menghadapi policy shock dan implikasinya pada prediksi perekonomian yang berubah. Mungkin saja masalahnya adalah institusional. Kemampuan lembaga melemah begitu menghadapi kebijakan mendadak, yang tercermin dalam ketidakakuratan pernyataan pemimpin lembaga itu, yang bila sering terjadi justru mengganggu akuntabilitas kelembagaan Negara yang dipercaya. Ketidakcermatan itu terlihat dari perbedaan cukup besar antara angka prediksi inflasi dan aktual inflasi, misalnya, terhadap prediksi BI bias 3,1%, prediksi Bappenas 5,1%, asumsi APBNP II 2005 8,5% dan bahkan terhadap target inflasi tahun 2005 RPJMN 2004-2009 mencapai 10,1%. Bias prediksi ini di samping menunjukkan kinerja koordinasi yang lemah juga mencerminkan kemampuan profesional yang memprihatinkan, yang karena itu harus mendapat perhatian untuk diperbaiki. Akuntabilitas perencanaan dan evaluasi kebijakan dipertanyakan.

Efek inflasi tahun 2005 cukup berpengaruh terhadap tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang menjadi referensi suku bunga simpanan di dunia perbankan. Pada Agustus 2005, tingkat suku bunga SBI masih lebih tinggi (9,5%) dari tingkat inflasi (8,3%). Insentif untuk menabung di perbankan masih menarik. Tetapi di bulan Desember 2005, keadaan menjadi kontraproduktif karena suku bunga SBI (12,75%) jauh di bawah angka inflasi (17,1%). Jika keadaan ini kronis, gangguan berikutnya tentu mengarah kepada likuiditas perbankan. Sampai September 2006, angka inflasi masih cukup tinggi (14,5%), yang menunjukkan transmisi efek kenaikan harga BBM Oktober 2005 berlangsung hampir setahun. Tingkat inflasi Desember 2006 kemudian menurun menjadi 6,6% dan inflasi tahun 2007 stabil di angka 6,59%. Bila dibandingkan dengan target inflasi pada RPJMN 2004-2009 untuk tahun 2006 (5,5%) dan tahun 2007 (5%), inflasi aktual pada tahun 2006 dan 2007 masih belum menggembirakan. Begitu pula, melihat target inflasi pada APBN tahun 2008 sebesar 6% masih belum sesuai dengan target inflasi 5% yang tercantum pada RPJMN 2004-2009.

Menurut UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI, Pasal 7 ayat 1, BI bertujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan, ayat 2, untuk mencapai tujuan itu BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan serta harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Menurut UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 21, menyebut Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam konteks kasus inflasi tahun 2005, mekanisme koordinasi seperti diperintahkan oleh kedua undang-undang tampaknya harus menjadi perhatian serius di masa-masa datang.


Kinerja Perbankan
Kebijakan perbankan sesungguhnya memang bukan domain pemerintahan SBY-JK, tetapi perbankan yang sehat dan mampu menjalankan fungsi intermediasinya terkait dengan situasi perekonomian, yang dipengaruhi oleh kebijakan otoritas moneter dan fiskal. Kebijakan fiskal yang mempengaruhi fungsi perbankan berjalan dengan baik menjadi wilayah tanggungjawab SBY-JK. Ketika pada Juli 2005, BI mengenalkan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF), penetapan target inflasi dirumuskan bersama dengan Pemerintah. Dengan target inflasi itu, BI dan Pemerintah harus bekerja erat bersama untuk mencapainya. Bila target itu dipercaya pelaku ekonomi, investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak sesuai rencana sehingga fungsi intermediasi perbankan bekerja secara optimal. Kepercayaan publik meningkat begitu target inflasi sesuai dengan ekspektasi inflasi. Sebutlah, misalnya, bila tingkat inflasi (aktual) berada di atas target, maka kebijakan BI selayaknya menaikkan tingkat suku bunga (SBI), sebaliknya bila inflasi berada di bawah target, suku bunga dapat segera diturunkan. Dengan pola ini, target inflasi adalah fokus kebijakan moneter (dan juga fiskal). Dengan kepercayaan target inflasi akan “pasti” tercapai, perilaku spekulatif pelaku ekonomi dapat ditekan seminimal mungkin dan perekonomian berkembang secara rasional. Semakin tidak akurat penetapan target inflasi, sama artinya dengan mengembangkan perilaku spekulatif di masyarakat. Karena itu, sikap profesional dalam penetapan target menjadi kebutuhan bersama dalam mengembangkan perekonomian yang sehat.

Namun, keberhasilan menjaga tingkat inflasi 6,6% dan menurunnya tingkat suku bunga SBI menjadi 9,75% pada Desember 2006 ternyata tidak berhubungan langsung dengan peningkatan investasi, apalagi pemerataannya. Berdasarkan Statististik Ekonomi Keuangan Bank Indonesia, per April 2007, suku bunga kredit konsumsi (rumah, motor, kartu kredit dan multiguna) justru naik dari 17,08% (Januari 2006) menjadi 17,38% (Maret 2007), sementara suku bunga deposito turun dari 12,01% (Januari 2006) menjadi 8,13% (Maret 2007). Diduga, jenis kredit konsumsi ini bersifat inelastis, naiknya suku bunga tidak menyebabkan permintaan atas kredit menurun. Data Bank Indonesia menunjukkan sampai Maret 2007 kredit konsumsi sebesar Rp231,26 naik 2,5% dibanding akhir tahun 2006. Sementara pada periode yg sama pertumbuhan kredit investasi hanya 0,9% dan modal kerja 0,4%. Walau suku bunga kredit investasi dan suku bunga kredit modal kerja turun tetapi pada level yang masih cukup tinggi yakni masih sebesar 14,53% dan 14,49% pada akhir triwulan I/2007. Sehingga total kredit triwulan I/2007 menjadi Rp 826T turun sebesar 0,8% (qtq). Bank Indonesia menyebut penurunan ini sebagai hal yang rutin karena diharapkan akan naik kembali pada triwulan berikutnya. Yang menarik, pada periode yang sama undisbursed loan (kredit yang sudah disetujui tapi belum ditarik) justru meningkat dengan total sekitar 21% dari pangsa kredit . Bank tampaknya justru lebih mendorong kredit konsumsi dibanding penyaluran kredit investasi maupun modal kerja. Target pertumbuhan kredit selama tahun 2006 sebesar 18% ternyata tidak tercapai karena penyaluran kredit hanya tumbuh 14,1%. Keadaan tahun 2007 relatif membaik karena dari target pertumbuhan kredit 22%, perbankan mampu menyalurkan sampai 24%. Gejala penurunan sempat terlihat pada LDR dari 64,7% (triwulan IV/2006) menjadi 64,4% (triwulan I/2007), tetapi kemudian naik lagi menjadi 69,8% pada November 2007. Keadaan perbankan yang membaik di tahun 2007 harus mampu terus di tingkat di tahun 2008 dan 2009, karena akan berhubungan langsung pada kegairahan perekonomian.

Peran perbankan bagi pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memang harus terus ditingkatkan. Karena UMKM merupakan sektor ekonomi yang mampu mnyerap tenaga kerja banyak. Perbankan dalam kenyataannya masih terbelit dengan situasi kredit macet UMKM terutama pada bank-bank BUMN. Total kredit macet per 31 Desember 2005 mencapai Rp 11,9 triliun yang tersebar di 783,477 unit UMKM, dengan perincian di Bank Mandiri sebesar Rp 4,1 triliun, BRI Rp 4,7 triliun, BNI Rp 3 triliun, dan BTN Rp 158 milyar. Bila dihitung sampai 31 Desember 2006 nilainya bertambah menjadi Rp 17,4 triliun. Hampir separuh nilai utang itu telah diserahkan kepada pengelolaan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) atau DJKN sehingga sisa kredit macet UMKM yang dikelola Bank BUMN harusnya menjadi lebih sederhana. Melalui PP 33/2006 yang dikeluarkan Pemerintah pada 6 Oktober 2006, Bank BUMN diberi kewenangan menyelesaikan kredit macet itu berpedoman pada UU 19/2003 tentang BUMN dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Sementara kredit macet yang telah diserahkan kepada DJKN atau PUPN diselesaikan sesuai UU 49/Prp/1960 tentang PUPN yang ditetapkan Presiden Soekarno 14 Desember 1960 dan berlaku sampai sekarang. Setelah setahun PP 33/2006 dikeluarkan progresnya tidak menggembirakan. Melihat itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berinisiatif tanggal 9 Oktober 2007 mengundang rapat koordinasi terbatas dengan beberapa menteri, Bank Indonesia, BPK, Kejaksaan dan Kepolisian serta Direktur Utama Bank Mandiri, BNI, BRI dan BTN. Kesepakatan rapat itu adalah agar kredit macet UMKM segera diselesaikan. Walaupun demikian, pimpinan bank-bank BUMN masih kuatir dianggap merugikan keuangan negara bila PP 33/2006 dilaksanakan. UU 31/1999 maupun Perubahannya UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang mengancam hukuman paling lama 20 tahun bagi setiap orang melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 8 UU 49/Prp/1960 menyebut definisi piutang negara sangat jelas. Piutang negara adalah sejumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Pasal 2 huruf g UU 17/2003 tentang Keuangan Negara juga menjelaskan keuangan negara meliputi kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pijhak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah. Kekuatiran para bankir Pemerintah selayaknya dihentikan. Cara terbaik adalah segera mengubah UU 49/Prp/1960 khususnya tentang definisi piutang negara. Menunggu perubahan itu, penyelesaian konvensional tanpa pemotongan pokok piutang (hair cut) seperti penghapusan denda, bunga dan ongkos atas piutang UMKM dapat dilakukan. Bank-bank Pemerintah seharusnya meyakini, dengan selesainya kredit macet UMKM, arus bawah perekonomian akan kembali bergerak, usaha karya rakyat kecil sebagai komponen utama perekonomian bangsa akan kembali bergairah. Seharusnyalah demikian tugas utama bank-bank Pemerintah.

Koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka pertumbuhan kredit perbankan tampaknya harus dilakukan dengan lebih terencana apalagi mengingat pangsa pasar bank-bank Pemerintah masih cukup besar sekitar 33% (Bank Mandiri 13,42%, BRI 11,57% dan BNI 8,21%) yang diharapkan dapat menjadi pemimpin dalam penyaluran kredit apabila ada policy design dari Pemerintah. Paket kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan Juni 2007 tentang Percepatan pertumbuhan sektor riil dan UMKM selayaknya dikoordinasikan dengan badan pengatur perbankan, yakni BI, dalam rangka meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Bekerja sendiri-sendiri antara otoritas fiskal dan moneter jelas bertentangan dengan Pasal 21 UU No 17/2003.

Per 31 Desember 2006, jumlah bank umum mencapai 130 dengan perincian 5 Bank Persero, 26 Bank Pembangunan Daerah, 68 Bank Umum Swasta Nasional, 17 Bank Campuran (sebelumnya 18 per Maret 2006), 11 Bank Asing dan 3 Bank Umum Syariah. Sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencapai 2,016 yang terdiri dari 1,914 BPR Konvensional (turun dari 1983 per Maret 2006) dan 102 BPR Syariah (naik dari 94 per Maret 2006). Dari struktur perbankan yang ada sekarang ini, sekitar 75% dari total aset perbankan (per Maret 2006 berjumlah Rp 1,466 triliun) dikuasai oleh hanya 11 bank besar yang umumnya dikuasai oleh bank-bank Pemerintah. Konsolidasi perbankan sesuai target kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) tentu menjadi tidak mudah bila tidak didorong dengan mekanisme “intervensi” tertentu, misalnya, dengan merger atau akuisisi. Pola intervensi regulasi seperti kriteria Bank Kinerja Baik (BKB), dengan modal inti di atas Rp 100 miliar dan CAR minimum 10%, dan Bank Jangkar (Anchor Bank), dengan CAR minimum 12%, ROA minimal 1,5%, ekspansi kredit riil minimal 22% pertahun, LDR minimal 50% NPL net maksimal 5%, perlu dipertanyakan dalam konteks kemungkinannya mencapai piramida API. Walaupun demikian, walau secara jangka panjang akan menguntungkan perekonomian nasional, dengan kondisi perbankan sekarang, tentu akan ada pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan dengan regulasi API. Sampai saat ini Pemerintah tampaknya belum memiliki sikap yang solid dalam menghadapi kebijakan API yang telah diterapkan oleh BI. Sekali lagi, koordinasi otoritas fiskal dan moneter masih dipertanyakan dalam konteks intermediasi perbankan. Misalnya, dalam kebijakan apa yang disebut Single Present Ploicy (SPP) yang dikeluarkan BI dalam rangka mendukung API terlihat seperti tidak berkoordinasi dengan Pemerintah. Kebijakan itu berpengaruh pada kondisi bank-bank BUMN milik Pemerintah, yang sampai saat ini seperti mengalami disorientasi, khususnya dalam kaitan peranan bank-bank itu bagi pembangunan perekonomian.

Komposisi kepemilikan aset dan kredit perbankan terus berubah sejak tahun 1999 sampai kuartal II tahun 2007, seperti Tabel 2 di bawah ini:


Tabel 2.
Komposisi Perbankan Nasional

7jn7_table2.jpg













Data di atas jelas menunjukkan aset perbankan yang dimiliki asing semakin meningkat cepat selama delapan tahun terakhir. Demikian pula dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Tetapi tidak demikian dengan kepemilikan oleh swasta nasional maupun oleh Bank BUMN. Beberapa Bank BUMN mengeluh tentang gencarnya “serbuan” asing atas aset dan pangsa kredit perbankan nasional. Melihat perkembangan kepemilikan perbankan oleh asing yang terus meningkat, BI sebagai pengatur perbankan nasional dianggap telah mengeluarkan kebijakan yang tidak seimbang. Asing dengan mudah menguasai perbankan nasional, bahkan sampai ke daerah-daerah terpencil, tetapi BI tidak mampu memfasilitasi pengembangan bank-bank nasional ke luar negeri. Sampai saat ini belum jelas strategi perbankan nasional, misalnya, sampai berapa besar pihak asing boleh menguasai aset perbankan nasional. Ke depan tampaknya perlu penguatan dalam bentuk regulasi undang-undang agar perbankan nasional mampu menjadi tuan di negara sendiri sekaligus menjadi bank dalam skala internasional.


APBN 2008
Nota Keuangan RAPBN 2008 yang disampaikan Presiden SBY pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 16 Agustus 2007 merupakan yang ketiga kali dimana fungsi perencanaan dan implementasi APBN dilakukan penuh pemerintahan SBY-JK. RAPBN 2008 itu kemudian disepakati dengan beberapa perubahan menjadi Undang-Undang pada Sidang Paripurna DPR tanggal 9 Oktober 2007. APBN 2008 dapat dikatakan sebagai APBN yang pro-growth with cautious (hati-hati). Pro-growth, karena target pertumbuhan ekonomi 6,8% tahun 2008 merupakan target ambitious paling tinggi selama reformasi. Target ini sebenarnya lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam RPJMN yaitu sebesar 7,2%. Hati-hati, karena untuk pertama kali Presiden menyebut secara eksplisit faktor resiko sebagai bagian integral dalam perencanaan APBN, seperti resiko perubahan pada asumsi makro, program penjaminan, kondisi BUMN, bencana alam dan kebijakan pensiun dan jaminan sosial. Faktor-faktor ini seharusnya dapat terukur kontribusinya dan tidak boleh menjadi alasan ‘cuci tangan’ (escape clause) bila target-target APBN 2008 tidak tercapai. Dengan demikian dapat diketahui berapa besar faktor resiko yang dapat dikendalikan dalam pelaksanaan APBN dan berapa resiko-resiko yang di luar kemampuan Pemerintah mengendalikannya.

Besaran RAPBN 2008 menggambarkan pertumbuhan ekonomi cukup signifikan. Indikator penerimaan pajak tentu yang terpenting. Misalnya, total pajak pada APBN 1998/1999 sekitar Rp 102,4 triliun (akhir era Soeharto) atau Rp 279,2 triliun pada APBN 2004 (akhir era Megawati), menjadi Rp 583,7 triliun dalam RAPBN 2008. Dengan sistem dan insentif perpajakan makin baik, perkembangan ekonomi tentu lebih baik. Pertumbuhan penerimaan pajak rata-rata 18,2% pertahun selama lima tahun ini, ternyata belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara seimbang karena rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi (rate of growth) hanya 14% pertahun pada periode sama. Alokasi belanja negara tahun 2008 untuk infrastruktur ekonomi yang makin besar seperti belanja modal Rp 101,5 triliun, dibanding APBN-P 2007 yang Rp 86,2 triliun, diharapkan memberi konstribusi besar atas pencapaian target ekonomi. Bila pola ini diikuti APBD-APBD tahun 2008 di seluruh Indonesia, pemerintahan SBY-JK di akhir tahun 2008 mungkin makin mewujudkan janji-janji kampanyenya: negara makin kuat dan rakyat makin sejahtera.

Belum lama RAPBN 2008 menjadi APBN 2008, mulai diubah lagi. APBN yang dimulai 1 Januari dan baru sebulan dilaksanakan tampaknya harus diubah. Tanda perubahan dimulai dari Sidang Kabinet 1 Februari 2008 yang dipimpin Presiden SBY dan Wapres JK. Dua hari sebelumnya, tanggal 30 Januari 2008, Perkiraan Awal APBN 2008 disampaikan Departemen Keuangan pada Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR. Pada 4 Februari 2008, Menteri Keuangan, didampingi Menteri PPN/Bappenas, Gubernur BI dan Kepala BPS, resmi menyampaikan Perkiraan Perubahan APBN 2008 pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR. Rapat kerja itu menyepakati agar Pemerintah segera menyampaikan rancangan perubahan APBN bila dianggap perlu. Menurut UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 27 ayat 1 dan 2, perubahan APBN dilakukan bersamaan Laporan Realisasi Semester I APBN, disampaikan ke DPR paling lambat akhir Juli. Menurut ayat 4, bila dianggap darurat, Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan diusulkan dalam rancangan perubahan APBN. Artinya, menurut ayat 1, 2 dan 4 pasal itu perubahan APBN dilakukan normalnya sekitar bulan Juli. Namun, Pemerintah menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU itu yang memberi peluang perubahan karena perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi APBN. Dari segi perencanaan, rencana perubahan ini jelas di luar jadwal. Tiga alasan Pemerintah atas perubahan ini: pertama, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia; kedua, kenaikan harga minyak dunia; dan, ketiga, kenaikan harga komoditi pangan dunia. Terkait langsung APBN adalah harga minyak dunia, yang sejak pertengahan tahun lalu melonjak di luar perkiraan. Tetapi di APBN 2008, yang disepakati tiga bulan lalu, Pemerintah percaya pada angka USD 60/barel. Diusulkan menjadi USD 80/barel. Lifting minyak, yang seharusnya di bawah kontrol Pemerintah pun, berubah dari 1,034 juta barel/hari menjadi 910 ribu barel/hari. Pendapatan negara bertambah, akibat windfall, menjadi Rp 823,3 triliun (dari APBN 2008 Rp 781,3 triliun) dan belanja negara menjadi Rp 910,6 triliun (dari Rp 854,6 triliun). Belanja negara membengkak karena subsidi BBM, listrik, pangan, dan transfer daerah. Pemotongan belanja kementerian dan lembaga negara sekitar 15% ternyata tidak mampu mengimbangi naiknya jumlah subsidi. Dengan demikian, defisit APBN menjadi Rp 87,3 triliun (dari Rp 73,3 triliun) atau dari 1,7% menjadi 2,0% terhadap PDB.

Pertanyaannya, mengapa asumsi makro yang belum lama disetujui menjadi tidak valid? Apakah kemampuan kita memprediksi perekonomian setahun ke depan menurun drastis? Padahal Presiden dalam Nota keuangan 16 Agustus 2007 menyebut komponen resiko agar embodied dalam APBN. Kiranya, ke depan, kemampuan memformulasi faktor resiko sebagai bagian inklusif sistem APBN mendapat perhatian yang lebih serius. Karena rencana harus sesuai realitas, kemampuan perencanaan Pemerintah jelas harus ditingkatkan untuk menjaga akuntabilitas Pemerintah.

Yang menarik, walau sejak tahun 2005 penyusunan APBN mulai menerapkan pola anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting), yang menghendaki perwujudan sasaran harus sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan perencanaan, evaluasi kinerja APBN ternyata belum menjadi praktek dalam politik anggaran negara. Dalam menegakkan politik anggaran yang sehat, kinerja yang baik haruslah memperoleh reward dan sebaliknya kinerja yang buruk layak memperoleh punishment. Evaluasi atas kinerja anggaran itu selayaknya bukan saja terkena pada pelaksana atau penanggungjawab anggaran tetapi juga seharusnya pada distribusi alokasi anggaran sehingga tujuan utama APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD NRI 1945 dapat diwujudkan. Tidak boleh dibiarkan terus menerus kemakmuran rakyat dikorbankan karena kinerja buruk pelaksanaan APBN. APBN yang sehat harus selalu dapat dievaluasi dan berorientasikan sesuai amanat konstitusi negara.

Dalam praktek, ekspektasi perencanaan APBN dan pelaksanaannya ternyata dua hal yang berbeda. Angka-angka perencanaan ekonomi seperti yang dirumuskan dalam APBN umumnya selalu lebih tinggi dari angka-angka pelaksanaan atau realisasinya. Angka perencanaan yang tinggi sebenarnya dapat dipandang sebagai ambisi politik Pemerintah, dan tentu juga DPR karena APBN ditetapkan Pemerintah bersama DPR, tetapi angka realisasi yang rendah justru menunjukkan kemampuan kerja atau kinerja Pemerintah karena pelaksanaan anggaran adalah tanggung jawab Pemerintah. Kinerja itu, misalnya, dalam hal rencana APBN atas pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi direncanakan mencapai angka 6%, ternyata realisasinya hanya 5,6%. Tahun 2006, rencana APBN sebesar 6,2%, yang kemudian diubah menjadi 5,8%, ternyata realisasinya tetap lebih rendah yaitu sebesar 5,48%. Kinerja pada tahun 2007 jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 6,3%, kenyataannya Pemerintah mampu mengangkatnya menjadi 6,33%. Kinerja tahun 2008 dan 2009 tentu belum dapat dilihat. Walaupun demikian, harus menjadi perhatian terutama bagi mereka yang pemegang otoritas yang bertanggung jawab atas kemajuan perekonomian karena tantangan pencapaian target pertumbuhan ekonomi pada pada dua tahun terkahir ini akan menentukan apakah target rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK dapat dicapai.


Kesimpulan
Konsep penilaian kinerja suatu pemerintahan memang seharusnya mencakup wilayah perencanaan dan pelaksanaan. Karena implikasi pelaksanaan bergantung pada rumusan perencanaan, dalam hal ini APBN, Pemerintah yang meneruskan kebijakan yang dirumuskan oleh Pemerintah sebelumnya, menurut Undang-Undang tentang Keuangan Negara, memang dimungkinkan untuk melakukan perubahan. APBN (dan juga APBD) sebagai jangkar utama kinerja pemerintahan di Indonesia seharusnya dapat dijadikan alat bagi mendorong kemajuan ekonomi bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Konsep perencanaan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan seperti dirumuskan dalam Undang-Undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sesungguhnya lebih menjelaskan kewajiban setiap pemerintahan untuk melanjutkan pembangunan ekonomi secara terus menerus. Pemerintahan sebagai bagian sistem politik nasional dapat saja dan akan berganti, tetapi pembangunan bangsa tetap berjalan senantiasa.

Kompetisi antar pemerintahan lintas periode atau antar pemimpin politik dalam tiap pemilu seharusnya memang diarahkan pada pengukuran kualitas kinerja sebagai implikasi pemilihan kebijakan dan kemampuan mengelola pemerintahan. Pertumbuhan ekonomi memang bukan satu-satunya ukuran atas kinerja suatu pemerintahan. Ukuran-ukuran lain seperti tingkat pengangguran, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kemajuan budaya dan seni, kemajuan wilayah, kegairahan usaha, keamanan, ketertiban, kebanggaan berbangsa dan seterusnya dapat saja dijadikan variabel untuk menilai kinerja suatu pemerintahan secara lebih komprehensif. Sehingga setiap pemerintahan baru memperoleh catatan apa yang seharusnya diperbaiki, yang tidak sempat dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya.

masa pemerintahan sby

# Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Kesempatan memperlihatkan kesungguhan kebijakan Indonesia yang pro pembangunan ekonomi tidak terlihat dalam pertemuan APEC di Vietnam. Bagaikan monyet ditulup, Indonesia terbengong-bengong melihat kesuksesan kebijakan Vietnam yang sangat menarik perhatian negara-negara seperti AS, Jepang, Korea Selatan, Australia, dll. Pembangunan yang terlihat hanya pada sektor perdagangan dan peningkatan konsumsi masyarakat semakin memperjelas jurang ekonomi antara si kaya dan si miskin. Sementara industri nasional Indonesia bagaikan sekaratul maut menuju jurang kehancuran. Dengan mengandalkan ekspor energi ke negara yang haus energi seperti China, Jepang dan AS tidak akan bertahan lama, lagi pula nilai pertambahan ekonomisnya sangat terbatas. Sungguh setelah bertahun-tahun merdeka, sangat memalukan hanya mengandalkan pada eksploitasi kekayaan alam semata. Kebijakan gas nasional yang lebih tunduk pada kesepakatan ekspor ke Jepang dan China telah membuat industri dalam negeri yang membutuhkan pasokan gas mengalami kesulitan yang luar biasa. Bila memang sangat yakin pada prinsip ekonomi liberal, seharusnya telah diketahui resiko hancurnya industri dalam negeri dan peningkatan jumlah pengangguran sebagai dampak tidak ketidakmampuan bersaing. Jika cepat sadar dan memang memikirkan nasib rakyat, seyogyanya peranan pemerintah ditingkatkan dalam mendorong pembangunan yang lebih terarah. Beberapa peraturan yang mendesak untuk segera diselesaikan misalnya peraturan tentang investasi, ketenagakerjaan, dan perpajakan. Meskipun indikator ekonomi makro Indonesia menunjukkan perbaikan misalnya nilai rupiah dan angka inflasi, namun apalah artinya jika sektor riil tetap terseok-seok dalam kelumpuhan. Bahkan jumlah angka kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi (persisnya tidak saya catat...tapi bisa dilihat dari angka-angka di BPS). Sektor perbankan yang miskin kredit dengan posisi lending yang sangat memprihatinkan, hebatnya perbankan nasional tidak mau rugi dengan memanfaatkan jalur Sertifikat BI. Industri pertanian dan manufaktur yang menyerap tenaga kerja bagaikan pesakitan karena belum ada terobosan yang mampu merangsang perubahan.

budaya konsumen ದಿ negara liberal

Budaya Konsumen, Universalisme: Bombardir Budaya Kapitalis

September 5, 2008 by lucysupratman

Budaya konsumerisme yang merupakan jantung dari kapitalisme adalah sebuah budaya yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk halusinasi, mimpi, artifisialitas, kemasan wujud komoditi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme.

Budaya konsumsen membuka peluang bagi konsumsi produktif dengan menjajikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan: menemukan kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup. Budaya konsumen, meski tidak sama dengan budaya masa kini, merupakan unsur utama dalam produksi budaya masa kini. Meskipun kelompok-kelompok yang berada di luar atau mencoba menjauhkan diri dari jangkauan pasar dan perilaku melawan arus, seperti misalnya sub-budaya remaja dan gerakan-gerakan sosial baru, dinamika proses pasar yang selalu mengejar yang ‘baru’ itu menyebabkan budaya konsumen dapat merajut dan mengolah ulang tradisi dan gaya hidup mutakhir.

Budaya masyarakat konsumen sering diberi ciri materialistis dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengungkapkan kemiskinan rohani dan tindakan mementingkan diri sendiri yang hedonistis dimana individu memusatkan kehidupannya pada konsumsi barang-barang. Pandangan ini sebenarnya mengatakan bahwa masyarakat telah memperlihatkan kemenangan rasionalitas ekonomi yang menyingkirkan adat istiadat tradisional serta nilai-nilai budaya leluhur dan menghasilkan budaya yang tidak menarik.

Seluruh kegiatan peragaan lay out bertujuan membuat barang tampak lebih bagus dari yang sebenarnya, dengan memanipulasi kesan di lay out itu. Logika pemajangan menghasilkan suatu situasi di mana makna dialihkan secara ‘ajaib’ ke barang melalui suatu proses elisi. Karena itu membeli barang berarti membeli kesan dan pengalaman, dan kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi ‘sederhana’, melainkan lebih merupakan interaksi simbolis di mana individu membeli dan mengkonsumsi kesan.

Tindakan membeli itu tergeser ke belakang, karena individu didorong untuk menikmati konsumsi gaya hidup. Para individu tersebut menjadi peraga yang sadar akan penampilannya dan kesan yang diberikannya ketika menyusuri dunia barang yang dipertontonkan dalam ruang-ruang di luas kota. Pariwisata dan kebun raya (Taman Mini Indonesia Indah/TMII dan Dunia Fantasi/DUFAN, misalnya) meneruskan logika ini sampai ke titik ekstremnya. Kedua-duanya menjual pengalaman, bukan menjual barang.

Inilah yang menyebabkan Jameson (1984) menempatkan budaya sebagai pemeran utama dalam reproduksi kapitalisme masa kini. “Karena unsur pokok masyarakat konsumen itulah tidak ada masyarakat yang dibanjiri tanda dan berbagai kesan seperti masyarakat ini.” Karena itu, ciri kedua budaya konsumen yang harus ditekankan adalah bahwa budaya konsumen ialah suatu budaya tempat berbagai kesan memainkan peranana utama. Sejauh ini telah dikemukakan betapa banyaknya makna baru terkait pada komoditi “material” melalui peragaan dan pesan iklan. Tetapi perlu pula dikemukakan, produksi berbagai kesan sebagai komoditi merupakan ciri utama budaya konsumen. Dan industri gambar hidup, surat kabar murah, media massa, majalah, dan televisi mencipta dan menyebarkan berbagai kesan tanpa henti. Kesan-kesan ini tidak dapat dikatakan membentuk ideologi pokok yang utuh karena kesan terus-menerus diproses ulang dan makna barang dan pengalaman tersebut didefiniskan kembali. Segala-galanya dapat dipertukarkan satu sama lain, dan tampaknya tidak ada batas ke mana berbagai makna yang jelas dan berdiri sendiri-sendiri dapat dipertukarkan. Seperti bintang film atau bintang pop menjadi tokoh politik (Arnold Swazneger, Gusti Randa), tokoh politik menjadi bintang film (Ruhut Sitompul, Ronald Reagen). Tradisi juga diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol ketampanan, roman, kemewahan, dan eksotika yang manjur. Kesan budaya konsumen dan iklan pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti-mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisonal dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Dalam arti inilah budaya konsumen itu menjadi suatu “dunia mimpi” yang mengandung suatu momen positif atau utopia dalam janjinya menciptakan barang berlimpah ruah.

Dalam budaya konsumen masa kini, gaya hidup mendapat kedudukan istimewa. Perilaku konsumsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus. Tekanan diletakan pada merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi (komoditi itu sendiri sudah merupakan pilihan) untuk menciptakan kesan gaya yang menyingkapkan individualitas pemiliknya.



Kekaburan Budaya Konsumen di Negara-negara Maju

Demistifikasi budaya intelektual umumnya dan menciptakan kekaburan baru dalam tata simbol, karena kegiatan media massa ini mengejar segala yang baru dalam tata symbol dan modern. Pertukaran ini, yaitu kepekaan kaum intelektual terhadap gaya baru dan permintaan pasar yang tak habis-habisnya akan barang dan gaya baru, menciptakan komoditi yang memungkinkan gaya berjalan lebih cepat, baik dari gaya avant garde ke gaya popular, atau dari gaya popular ke gaya avant garde, atau dari gaya popular ke gaya jet set.

Pemikiran Eiger (2003) mengenai kematian kehidupan sosial dan kemenangan budaya, mengandung pengertian bahwa budaya dan lingkup simbolis tidak dapat diringkas menjadi sebuah alam struktur sosial yang terpisah (kelas). Budaya tinggi dan seni “serius” di sini juga telah kehilangan transendensinya dan wewenang simbolisnya. Meski rumusan-rumusan ini jelas membayangkan runtuhnya pandangan Bourdieu mengenai kekuatan simbolis dan modal budaya dalam suatu kenyataan palsu, yang menyingkirkan satu perangkat perbedaan untuk menggantinya dengan perangkat baru yang menjamur tiada henti, lebih baik jika pada tahap ini rumusan Bourdie dilihat sebagai kecenderungan yang mengancam akan menggoyahkan perbedaan yang timbul dalam kaitan dengan permainan kalah-menang sosial. Walaupun kekuasaan Amerika Serikat ini jelas sekali terlihat di negara-negara pusat di barat, hal ini lebih menonjol di negara-negara pinggiran di Dunia Ketiga. Kalau kita berbicara tentang pengaruh global dan dampak budaya konsumen atas negara-negara pinggiran, tekanan harus diletakan pada media masa, dengan anggapan bahwa di negara-negara di luar negara pusat konsumsi sebagian besar rakyat jelata terbatas pada konsumsi kesan dalam media, sementara masyarakat tidak mampu mengembangkan prasarana produktif untuk memperluas konsumsi barang sehingga dapat mengembangkan seperangkat gaya hidup dan perilaku yang berorientasi di sekitar konsumsi. Ini tidak berarti bahwa banjir kesan yang dibawa media yang berpusat di barat itu tidak berpengaruh terhadap perilaku di Negara-negara dunia ketiga. Dengan meningkatnya dominasi ekonomi Amerika dalam hal produksi serta distribusi budaya melalui media, sering ditunjukkan bahwa negara-negara Dunia Ketiga menghadapi kesulitan berat dalam usaha mencoba menciptakan proteksionisme budaya untuk memelihara budaya-budaya asli. Negara-negara ini tidak hanya terbuka untuk membanjirnya film-film televisi Amerika, komedi bersambung dan sebagainya dengan sedikit biaya bagi produksi berbagai acara siaran lokal dan kegiatan-kegiatan “jalan belakang” perusahaan multinasional amerika serikat dalam pembelian agen-agen periklanan serta media nasional. Sebaiknya juga memperlihatkan bahwa kaum borjuis baru mereka sering bertindak sebagai perantara bagi budaya Amerika dalam memanfaatkan keangotaannya yang elite, yang mobile, dan kosmopolitan untuk menyebarluaskan barang-barang dan nilai-nilai budaya konsumen yang diambil dari pusat. Dominasi budaya yang progresif ini, yang sering diarahkan ke imperialisme budaya atau imperialisme media, telah dianggap sebagai ciri Amerikanisasi.

Amerikanisasi digunakan untuk menunjukan cara bagaimana film-film, televisi, dan produk-produk media lainnya umumnya dikemas dengan paket-paket orang Amerika atau gaya orang Amerika sebagai bagian dari suatu internasiolisasi konsumsi, pola-pola pemanfaatan waktu luang, pendidikan budaya remaja, bahasa dan mode kesadaran yang progresif.

Karena itu salah membaca arti pesan yang asli tampaknya sudah menjadi bagian dari penerimaan program dan benda budaya konsumen di negara-negara dunia ketiga. Ruang gerak untuk kesalahpahaman ini menjadi masalah bila budaya konsumen dianggap sebagai suatu ideologi yang mencakup seperangkat keyakinan. Selain itu, pengaruh besar budaya konsumen ialah menggoyahkan makna tanpa menggantinya dengan makna baru dengan batas-batas khusus pula. Jadi, salah satu cara yang memungkinkan produk-produk hasil budaya konsumen tidak membentuk masyarakat menjadi media kapitalis, yaitu dengan mendorong berkembangnya peranan pemberi tanda dan teks yang tertulis untuk menghilangkan kekaburan makna. ***

Selasa, 28 Juli 2009

perdagangan bebas

Berbagai teori ekonomi internasional secara jelas menunjukan bahwa segala keuntungan dari perdagangan bebas diperuntukan sebagian besar bagi pihak konsumen. Tanpa mengambil teori yang berbelit-berbelit, kita dapat mengambil parameter yang paling lugas: harga barang yang lebih murah. Berdasarkan hukum permintaan semakin murah harga barang semakin banyak permintaan barang tersebut. Dalam kata lain, konsumen memiliki daya beli tinggi untuk membeli barang tersebut.

Permasalahan terletak pada sudut pandang para pembangun teori yang menggunakan pendekatan konsep utilitarian. Walaupun dalam teori-teori ekonomi perdagangan internasional mengakui bahwa akan ada sebagian orang dirugikan (worse-off), dalam sudut pandang utilitarian dikombinasikan dalam rerangka general equilibrium secara umum masyarakat yang diuntungkan (better-off) dari perdagangan bebas lebih banyak dari yang dirugikan (meskipun lagi-lagi dengan banyak asumsi yang harus dipenuhi).

Terlihat bahwa bukanlah “masyarakat” yang diuntungkan namun sifat “konsumtif”-lah yang diuntungkan dari perdagangan bebas. Padahal jauh sebelumnya, di awal abad ke-20, Ekonomi terkemuka J. M. Keynes telah memeringatkan bahwa konsumsi adalah salah satu pengeluaran yang pasif karena tidak dapat menciptakan efek multiplier yang baik. Teori ini didukung oleh R. Sollow dalam teori pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya yang menghasilkan kesimpulan bahwa tabungan/investasi (sebagai kebalikan dari konsumsi) merupakan modal menuju kemapanan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hal senada juga dikemukakan oleh para tokoh ekonom Ricardian yang menyatakan konsumsi (apalagi yang dibiayai melalui utang) adalah salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek yang bakal ”mengorbankan” generasi berikutnya.

Kembali ke perdagangan bebas, berangkat dari pernyataan bahwa investasi/tabungan adalah modal pertumbuhan jangka panjang, dan bukannya konsumsi, apakah mungkin fenomena perdagangan bebas bagi suatu negara, misalnya Indonesia, akan menguntungkan? Bisa saja, asalkan barang-barang yang cenderung diimpor adalah barang yang memiliki nilai investasi. Dengan kata lain, pada akhirnya impor itu sendiri akan masuk ke dalam proses penambahan nilai (added value) di dalam negeri yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai parameter pertumbuhan yang lebih baik.

Namun demikian, pada kenyataannya barang-barang impor yang ada di Indonesia dan beberapa negara berkembang lebih cenderung kepada barang-barang konsumtif yang memiliki nilai investasi yang rendah. Celakanya, barang-barang tersebut lebih kepada pemuasan status sosial di masyarakat yang pada akhirnya akan meciptakan penyakit sosial di masyarakat. Permasalahan yang belum bisa ditangkap oleh ilmu ekonomi modern.

Lebih parah lagi jika aturan main yang terjadi dalam konstelasi perdagangan internasional masih sarat akan sikap-sikap diskriminatif dan berbau kebijakan ganda. Teori ideal yang pada awalnya runtuh hanya karena asumsi yang gagal, kembali harus hancur berkeping-keping karena adanya agen-agen yang memang secara sengaja mengacau demi kepentingan sedikit pihak. Misalnya pelarangan kebijakan proteksi bagi negara berkembang, pengetatan standar barang oleh negara maju (non-tariff barriers), dan lain-lain yang sebenarnya malah mengacau-balaukan konsep ideal perdagangan bebas. Lalu apakah perdagangan bebas masih relevan?

Masih! Selama segalanya prasyarat (termasuk perilaku sosial, ekonomi dan institusi) telah berada pada tempatnya masing-masing untuk menciptakan situasi perdagangan bebas yang adil dan produktif. Sayangnya ide ini tidak dapat terlaksana jika terjadi masih terjadi penyeragaman konsep pemikiran akan perdagangan bebas dengan teori-teori generik yang tidak pandang bulu. Globalisasi dan integrasi ekonom dunia sudah di ambang mata, nampaknya permasalahan yang masih debatable ini menjadi tantangan bagi para ekonom untuk segera mencari teori-teori perdagangan yang sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh umat manusia di se

ಸೇಜರಃ politik indonesia

SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Materi Perkuliahan Sistem Politik Indonesia

Tanggal 28 Maret 2006

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.

Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan

Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.

Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.

Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).

Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :

1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.

2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.

4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.

5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.

6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.

Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:

a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.

b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik

PROSES POLITIK DI INDONESIA

Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:

- Masa prakolonial

- Masa kolonial (penjajahan)

- Masa Demokrasi Liberal

- Masa Demokrasi terpimpin

- Masa Demokrasi Pancasila

- Masa Reformasi

Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :

· Penyaluran tuntutan

· Pemeliharaan nilai

· Kapabilitas

· Integrasi vertikal

· Integrasi horizontal

· Gaya politik

· Kepemimpinan

· Partisipasi massa

· Keterlibatan militer

· Aparat negara

· Stabilitas

Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :

1. Masa prakolonial (Kerajaan)

· Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi

· Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan

· Kapabilitas – SDA melimpah

· Integrasi vertikal – atas bawah

· Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan

· Gaya politik - kerajaan

· Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan

· Partisipasi massa – sangat rendah

· Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang

· Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah

· Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang

2. Masa kolonial (penjajahan)

· Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi

· Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham

· Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah

· Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis

· Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi

· Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)

· Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat

· Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada

· Keterlibatan militer – sangat besar

· Aparat negara – loyal kepada penjajah

· Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah

3. Masa Demokrasi Liberal

· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani

· Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi

· Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial

· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas

· Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator

· Gaya politik - ideologis

· Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928

· Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta

· Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil

· Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai

· Stabilitas - instabilitas

4. Masa Demokrasi terpimpin

· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas

· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah

· Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju

· Integrasi vertikal – atas bawah

· Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,

· Gaya politik – ideolog, nasakom

· Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik

· Partisipasi massa - dibatasi

· Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan

· Aparat negara – loyal kepada negara

· Stabilitas - stabil

5. Masa Demokrasi Pancasila

· Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi

· Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM

· Kapabilitas – sistem terbuka

· Integrasi vertikal – atas bawah

· Integrasi horizontal - nampak

· Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan

· Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI

· Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi

· Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI

· Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)

· Stabilitas stabil

6. Masa Reformasi

· Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi

· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi

· Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah

· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas

· Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)

· Gaya politik - pragmatik

· Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi

· Partisipasi massa - tinggi

· Keterlibatan militer - dibatasi

· Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah

· Stabilitas - instabil

posted by Uwes Fatoni | 7:17 AM | 1 comments
BUDAYA DAN STRUKTUR POLITIK

Materi Perkuliahan Sistem Politik Indonesia

Tanggal 21 Maret 2006

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

Sistem politik terdiri dari tradisional, transisi dan modern

Sistem politik itu sangat luas namun bila diringkaskan bisa dilihat dari dua sudut pandang yatu kultur (budaya) atau struktur (lembaga).

BUDAYA POLITIK

Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik.

Budaya politik berbeda dengan peradaban politik yang lebih dititiktekankan pada teknologi.

Budaya politik dilihat dari perilaku politik masyarakat antara mendukung atau antipati juga perilaku yang dipengaruhi oleh orientasi umum atau opini publik.

Tipe budaya politik

1. Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.

2. Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input.

3. Budaya partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik.

4. budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.

Ketika melihat budaya politik di Indonesia kita bisa melihat dari aspek berikut:

a. Konfigurasi subkultur. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beragam, namun semuanya sudah melebur menjadi satu bangsa sehingga tidak muncul kekhawatiran terjadi konflik. Berbeda dengan india yang subkulturnya sangat beragam bahkan terjadi sekat antar kasta.

b. Bersifat Parokial kaula. Karena masyarakat Indonesia mayoritas masih berpendidikan rendah maka budaya politiknya masih bersifat parokial kaula.

c. Ikatan primordial, sentimen kedaerahan masih muncul apalagi ketika Otonomi Daerah diberlakukan.

d. Paternalisme, artinya masih muncul budaya asal bapak senang (ABS)

e. Dilema interaksi modernisme dengan tradisi. Indonesia masih kuat dengan tradisi namun modernisme mulai muncul dan menggeser tradisi tersebut sehingga memunculkan sikap dilematis.

STRUKTUR POLITIK

Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.

Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik.

Ketika berbicara struktur politik maka yang akan diperbincangkan adalah tentang mesin politik sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan jenisnya mesin politik terbagi dua yaitu :

1. Mesin politik Informal

- Pengelompokan atas persamaan sosial ekonomi

· Golongan petani merupakan kelompok mayoritas (silent majority)

· Golongan buruh

· Golongan Intelegensia merupakan kelompok vocal majority

- Persamaan jenis tujuan seperti golongan agama, militer, usahawan, atau seniman

- Kenyataan kehidupan politik rakyat seperti partai politik, tokoh politik, golongan kepentingan dan golongan penekan.

2. Mesin politik formal

Mesin politik formal berupa lembaga yang resmi mengatur pemerintahan yaitu yang tergabung dalam trias politika :

- Legislatif

- Eksekutif

- Yudikatif

Fungsi Politik

1. Pendidikan politik
2. Mempertemukan kepentingan atau mengakomodasi dan beradaptasi
3. Agregasi kepentingan yaitu menyalurkan pendapat masyarakat kepada penguasa, disini penyalurnya berarti pihak ketiga
4. Seleksi kepemimpinan
5. komunikasi politik yaitu masyarakt mengemukakan langsung pendapatnya kepada penguasa demikian pula sebaliknya.

posted by Uwes Fatoni | 7:15 AM | 6 comments
Tuesday, March 07, 2006
Materi perkuliahan tanggal 6 Maret 2006

Pengertian

Sistem adalah Satu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur yang saling terkait

Suatu cara yang mekanismenya berpola, konsisten dan otomatis

Politik berasal dari polis (negara kota: bhs Yunani)

Artinya kegiatan dalam rangka mengurus kepentingan masyarakat

Indonesia adalah nama untuk suatu bangsa dan negara yang memiliki wilayah, penduduk, pemerintah dan aturan.

Sistem Politik berarti mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam strutkus politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukkan satu proses yang langgeng.

Sistem Politik Indonesia berarti :

1. Sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia (masa lampau)
2. sistem politik yang sedang berlaku di Indonesia (masa sekarang)
3. Sistem politik yang berlaku selama eksistensi Indonesia masih ada (masa yang akan datang)

Fenomena dalam politik

a. Sistem Politik Negara

b. Peran politik Jabatan

c. Struktur politik Institusi

d. Budaya politik Pendapat umum

e. Sosialisasi politik Pendidikan kewarganegaraan.

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

posted by Uwes Fatoni | 2:53 AM | 0 comments
Saturday, February 25, 2006
SILABUS MATA KULIAH

SISTEM POLITIK INDONESIA

Mata Kuliah : Sistem Politik Indonesia

Bobot : 2 (dua) SKS

Jurusan :

Deskripsi :

Sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Berdasarkan hal tersebut, mata kuliah ini disajikan sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem politik Indonesia. Secara spesifik akan dikaji mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pokok bahasan :

1. Pengertian sistem politik Indonesia
2. Sejarah Sistem Politik Indonesia (zaman pra kolonial, kolonial, orde lama, orde baru, dan reformasi)
3. Sistem Kepartaian
4. Sistem Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD
5. Sistem Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden
6. Sistem Pemilihan Umum Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota)
7. Fungsi dan Kedudukan Eksekutif
8. Fungsi dan Kedudukan Legislatif
9. Fungsi dan Kedudukan Yudikatif
10. Fungsi dan Kedudukan Lembaga Negara masa Reformasi

- Komisi Pemilihan Umum (KPU)

- Mahkamah Konstitusi (MK)

- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

- Komisi Yudisial (KY)

Referensi :

1. Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988
2. Fisip UI, Mengubur Sistem Politik Orde Baru, Bandung, Mizan, 1998
3. Arief Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya, Intelektual Club, 2001
4. Hartono Mardjono, Reformasi Polisik Suatu Keharusan, Jakarta, GIP,

posted by Uwes Fatoni | 1:00 PM | 0 comme

peran bpom

BPOM sebagai regulator dan filter lalu lintas produk, terutama makanan dan obat-obatan, di Indonesia harus benar-benar jeli melihat dan secara rutin mengevaluasi peredaran barang-barang di lapangan. Sweeping serta investigasi terhadap produk baru atau lama harus rutin dijalankan, baik produk domestik maupun impor. Tidak hanya melihat secara kasatmata dan syarat administratif. Kalau perlu, dilakukan uji laboratorium.

Beberapa hari yang lalu jenis makanan abon yang kita kenal ternyata mengandung daging ‘babi celeng’. Bagi produsen karena pasar yang dibidik sudah jelas, tidak perlu mengikuti tren atau perilaku konsumen. Tinggal mengatur atau membentuk lingkaran setan saja dalam menjalankannya. Hal itulah yang terkadang disalahgunakan produsen. Seharusnya, produsen dan distributor tahu bahwa memproduksi dan atau mengedarkan abon yang berasal dari daging ‘babi celeng’ telah melanggar UU No 23/1992 tentang Kesehatan. Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Selain itu, melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tindakan tersebut bisa dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Memang, sampai saat ini belum ada yang mengganggap serius kasus itu.

Berbagai kasus tersebut seharusnya bisa menjadi guru berharga bagi BPOM serta Depkes untuk bertindak. Tidak hanya membuat public warning. Semua elemen yang terkait (BPOM, penegak hukum, kepolisian, dan masyarakat) harus diajak bekerja sama menindak tegas produsen obat berkimia tersebut.

BPOM juga harus benar-benar mengamati perubahan perilaku produsen dan konsumen, apa yang dilakukan dan terjadi di lapangan. Itulah perlunya meneliti serta mengontrol terus-menerus. Tidak hanya survei pasar untuk melihat harga dan lalu lintas produk-produk lama yang telah beredar, tapi juga meneliti produk-produk baru yang akan beredar ke masyarakat.

BPOM harus menetapkan standar yang ketat dan punya sumber intelijen serta informasi yang akurat terhadap lalu lintas produk di masyarakat sebagai dasar menetapkan keputusan. Untuk produk-produk impor, seharusnya produsen atau ekposter mempunyai quality control (QC) profesional yang ditempatkan di negara yang memproduksi produk.

melindungi industri

Melindungi Industri dari Krisis

Pengetatan impor juga dilakukan negara lain.Krisis keuangan yang episentrumnya di Amerika Serikat (AS) berdampak pada turunnya daya beli warganya. Bagi sebagian negara, penurunan daya beli warga AS merupakan masalah besar. Sebab, AS lah negara tujuan utama ekspor mereka, baik berupa produk pangan, sandang, maupun papan.Tak terkecuali, industri di Tanah Air merasakan imbas turunnya daya beli warga AS. Di antara yang terpengaruh adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT), furnitur, dan alas kaki. Bahkan, ketiga industri itu sudah memakan korban: pekerja dirumahkan dan dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).Diperkirakan, jumlah pekerja yang di-PHK bakal bertambah pada 2009. Karena diprediksi, yang terkena dampak tidak langsung penurunan daya beli warga AS juga merembet ke industri otomotif, komponen, dan aksesoris otomotif. Namun, Indonesia tidak sendirian. Negara eksportir lainnya, seperti Cina bakal mengalami hal serupa.Karena itu tidak heran jika hampir semua negara eksportir yang menjadikan AS sebagai tujuan utama, kini mulai beralih. Mereka berupaya mencari celah dengan melakukan ekspansi pasar. Hal yang juga telah dipikirkan oleh Cina.Dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, Indonesia dianggap Cina sebagai pasar potensial. Meskipun, tanpa ekspansi, produk Cina telah membanjiri Tanah Air.Jika biasanya pemerintah tidak begitu memperhatikan membanjirnya berbagai jenis produk ilegal asal Cina, tidak untuk krisis keuangan kali ini. Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, mengeluarkan Permendag Nomor 44 Tahun 2008 terkait pembatasan lima pelabuhan sebagai pintu masuk lima jenis produk yang kerap masuk secara ilegal.Pengusaha menyambut baik Permendag yang rencana awalnya berlaku efektif mulai 15 Desember 2008, yang kemudian diundur menjadi Februari 2009 karena perlu revisi. Namun, kabar terakhir Permendag ini bakal dipercepat menjadi 1 Januari 2009.Upaya pembatasan impor ilegal, disambut positif Presiden Direktur PT Zyrexcindo Mandiri Buana, Timoty Siddik. Pengetatan itu dinilai sebagai upaya melindungi industri nasional agar tidak memperburuk PHK. ''Saya tidak tahu berapa besar produk elektronik ilegal yang digagalkan masuk ke Indonesia. Saya berharap bisa banyak, karena itu sangat membantu kita terutama dalam situasi krisis ini,'' ujarnya.Permendag itu, kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Diah Maulida, tidak bermaksud membatasi masuknya produk impor. Melalui Permendag tersebut, pemerintah akan mendata importir yang telah mendapat izin, berapa volume impornya, jenis produknya, sehingga semua terkontrol. ''Tidak ada pembatasan, kami hanya mendata saja. Kalau sudah terdata dengan baik, bebas, silakan impor berapa saja,'' jelasnya.Pemerintah memang punya alasan kuat mengetatkan impor produk: membuat produk nasional dapat terserap pasar lebih banyak supaya tetap beroperasi. Sejalan dengan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan secara lisan agar menggunakan produk dalam negeri.Sekjen Departemen Perindustrian, Agus Tjahajana, mengatakan, dalam waktu dekat akan keluar Permenperin terkait pedoman bahan-bahan produksi dalam negeri apa saja yang harus digunakan instansi pemerintah dan BUMN.Risiko terkena sanksiTak berhenti dengan pengetatan impor dan mewajibkan penggunaan produk dalam negeri, pemerintah juga melanjutkan pemberian insentif fiskal, baik berupa bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) maupun pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPNDTP) kepada industri yang dianggap perlu dan signifikan mengurangi PHK. Untuk keperluan itu, disiapkan Rp 10 triliun untuk PPNDTP dan Rp 2,5 triliun untuk BMDTP.Agus mengatakan, industri penerima BMDTP telah ditetapkan, namun penerima PPNDTP masih disusun secara hati-hati. Apa pun, kebijakan itu disambut baik oleh industri lokal di Tanah Air, meski tidak bagi negara-negara Uni Eropa (UE) dan India.Mereka telah melayangkan surat protes ke Depperin. Kebijakan tersebut...

peran pemerintah melindungi industri dalam negeri

D
DALAM kurun lima tahun sampai awal 2006, 467 industri tekstil dan produk tekstil (TPT) gulung tikar. Sebanyak 227 (48,6%) di antaranya berlokasi di Jawa Barat. Apa yang terjadi? Banyak tulisan membahas tingginya ongkos produksi sebagai penyebab mundurnya industri TPT, tetapi sebetulnya ada situasi global yang sangat memengaruhi maju-mundurnya industri TPT, yaitu berakhirnya kuota tekstil bagi Indonesia.
TPT adalah bagian dari produk yang diatur dalam skema perdagangan internasional oleh WTO (World Trade Organization) melalui suatu kesepakatan yang disebut ATC (Agreement on Textiles and Clothing). Sebagai anggota WTO, mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus mematuhi berbagai point perjanjian itu.
ATC adalah perjanjian lanjutan setelah MFA (multifibre arrangement) yang berakhir 31 Desember 1994. Pada masa berlakunya MFA, Indonesia dan beberapa negara berkembang pengekspor tekstil diberikan kuota sehingga produk TPT-nya dapat diekspor ke negara-negara maju. Perdagangan bebas membuat seluruh kuota ini harus dihapus, dan ATC adalah perjanjian di masa transisi yang memuat tahapan-tahapan dan cara pengintegrasian TPT dalam skema perdagangan internasional sebelum seluruh kuota TPT dihapuskan selama 10 tahun (1 Januari 1995 s.d. 31 Desember 2004).
Proses penyusunan ATC ini mendapat tentangan banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, tetapi rupanya WTO terlalu kuat sehingga Indonesia harus menyiapkan diri dalam masa transisi selama 10 tahun untuk bisa bersaing di pasar global tanpa kuota.
Ada dua hal penting yang diatur dalam perjanjian itu. Pertama, pengaturan kuota ekspor. Selama 10 tahun masa transisi, ada empat tahap pengintegrasian produk kuota. Pada awal 1995, 16% dari seluruh nilai kuota harus dilepaskan untuk pasar bebas dan menjadi rebutan negara-negara pengekspor TPT. Nilai itu meningkat menjadi 33% pada 1998, 51% awal 2002, dan akhirnya, 1 Januari 2005 tidak ada lagi kuota yang diberikan dan dengan demikian berarti kompetisi berlangsung antara negara pengekspor TPT.
Kedua, pengaturan kuota impor. Ketika ekspor dibebaskan, segala hambatan impor harus pula dihapuskan. Artinya, negara-negara anggota WTO harus memulai untuk mempermudah impor TPT seperti menurunkan tarif impor dan mempermudah perizinan.
Ketika kedua hal penting tersebut bergabung, bagi Indonesia hanya ada pilihan, berkompetisi untuk bisa mengekspor TPT ke negara-negara maju bersaing dengan negara-negara lain sesama pengekspor TPT dan bersiap-siap untuk menerima banjir produk TPT dari negara lain.
Cina lebih kompetitif
Amerika Utara (Kanada dan AS) dan Uni Eropa adalah negara-negara besar pengimpor TPT dari negara-negara berkembang. Setelah tanpa kuota, pasar TPT Amerika Utara saat ini dikuasai Cina. Cina menguasai 50% dari seluruh impor TPT Amerika Utara, bandingkan dengan nilainya yang hanya 16% pada 1997 (saat masih dengan kuota).
Di bawah Cina, adalah India yang menguasai 15% nilai impor TPT ke Amerika Utara (meningkat dari hanya 4% di tahun 1997). Dengan 65% pasar yang telah dikuasai Cina dan India, tidaklah mengherankan apabila beberapa negara lain yang termasuk 10 besar negara pengekspor TPT ke Amerika Utara mengalami penurunan. Indonesia, Filipina, dan Bangladesh mengalami penurunan ekspor TPT dari 4% ke 2%. Ekspor Mexico dan negara-negara bagian lain di AS juga turun tajam antara 7-10%.
Sementara itu, pemain baru juga mulai masuk AS. Vietnam (yang belum termasuk anggota WTO sehingga tidak berkewajiban mematuhi ATC), memiliki perjanjian perdagangan (Desember 2001) dengan AS dan sekarang mulai masuk pasar AS. Dengan sejarah geopolitiknya dengan AS, diperkirakan akan ada tarif khusus AS untuk Vietnam. Selain Vietnam, Lao PDR dan Kamboja juga memiliki perjanjian khusus dengan AS.
Di tempat lain, komposisi negara-negara pengekspor TPT ke Uni Eropa tidak terlalu berubah. Cina, India, dan Bangladesh tetap mengalami peningkatan. Cina dengan 29% (dari 18% di tahun 1997) dan India serta Bangladesh mengalami sedikit peningkatan (1-3%). Hongkong (6%) dan Indonesia (3%) masih tetap, tidak meningkat juga tidak menurun. Negara-negara lainnya seperti Turki, Bangladesh, Maroko, Polandia, dan Eropa Timur malah turun antara 1-3%.
Di Indonesia
Tutupnya pabrik dan PHK buruh terus menjadi cerita yang mewarnai industri TPT Indonesia saat. Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan, tercatat 467 industri TPT gulung tikar dalam lima tahun terakhir ini. Sebagian besar di antaranya adalah industri TPT dengan kategori industri menengah besar yang memiliki tenaga kerja bervariasi antara 3.000-4.000 orang.
Masih dari API, sebagian besar industri yang tutup itu berlokasi di Jawa Barat (227 pabrik), Jakarta (108), Jawa Tengah (34), Jatim (17), Bali (16), Medan (4), dan sebuah industri TPT berskala besar dengan tenaga kerja 1.200 orang yang berlokasi di Padang.
Hal sama juga terjadi di Kab. Bandung. Padahal 53% aktivitas ekonomi Kab. Bandung disumbang oleh sektor industri pengolahan yang terkonsentrasi di Kecamatan Majalaya, Padalarang, Margahayu, Dayeuhkolot, Katapang, Soreang, dan Cileunyi. Saat ini tercatat sekitar 699 perusahaan besar dan sedang mempekerjakan 177.318 orang, dengan 60% di antaranya bekerja di industri TPT. Jumlah tenaga kerja sektor ini mengalami penurunan 24% dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 234.868 pekerja.
Di sisi lain, dibukanya keran impor (pasca-ATC) telah menyebabkan impor TPT dari Cina ke Indonesia semakin meningkat. Data API menunjukkan, total pertumbuhan impor garmen Cina dalam lima tahun terakhir (2004) mencapai 380%. Angka tersebut belum termasuk impor TPT illegal ke Indonesia yang, masih menurut API, nilainya bisa lebih besar daripada yang tercatat resmi.
Perjanjian penghapusan kuota (ATC) tidak dapat sepenuhnya disalahkan menjadi penyebab mundurnya industri TPT. Masih ada faktor lainnya seperti naiknya ongkos produksi bahan baku (40% komponen industri tekstil itu impor) pascakenaikan BBM dan pungutan yang memberi kontribusi terhadap mundurnya industri TPT.
Rekomendasi
Mau tidak mau, kini saatnya bagi pemerintah, baik daerah maupun pusat, lebih serius mengurusi industri TPT, sebelum lonceng kematian betul-betul bergema. Saat ini sepertinya Indonesia gencar mengundang investor. Tapi kalau diamati, banyak aturan yang tidak mendukung terciptanya iklim yang baik bagi sebuah industri.
Di sini saya hanya mau menulis, daripada pemerintah capai-capai mengundang investasi yang belum tentu baik, kenapa tidak berusaha untuk menguatkan dan membantu mengembangkan industri TPT yang sudah ada. Industri TPT, walaupun masih berkandungan impor 40%, masih bisa diharapkan karena bangkitan-bangkitan industri di belakangnya (hulu) dan hilir yang tinggi.
Hal lain yang penting dilakukan adalah aktifnya pemerintah untuk menciptakan kebijakan-kebijakan melindungi produk TPT Indonesia dari Cina. Jangan takut untuk melakukannya karena AS dan Uni Eropa yang anggota WTO sudah memberlakukan kebijakan pengurangan kuota produk Cina.
Pada bulan November 2005, AS dan Uni Eropa sepakat untuk mengurangi impor produk Cina sampai akhir 2008. Setidaknya negara-negara lain, seperti Indonesia, sampai 2008 bisa bernapas sedikit lega. Tapi tiga tahun adalah waktu yang singkat. Sudah saatnya pemerintah menelurkan kebijakan-kebijakan untuk melindungi industri TPT dalam negeri dari serbuan produk impor dari Cina.
Walaupun demikian, proteksi saja tidak cukup, karena hanya akan menjadikan produk TPT jago di kandang sendiri. Upaya penting lainnya adalah secara aktif melakukan perjanjian antarpemerintah atau antarperusahaan untuk memfasilitasi terciptanya perjanjian perdagangan.
Indonesia memang pernah mengusulkan agar masa berlaku kuota TPT diperpanjang lagi selama lima tahun untuk AS. Hasil negosiasinya masih menunggu keputusan pemerintah AS. Ini langkah awal yang baik, tetapi sebaiknya tidak hanya dengan AS. Sudah saatnya anggaran yang besar untuk diplomasi Indonesia diberdayakan betul untuk membuat perjanjian-perjanjian khusus yang menguntungkan perdagangan Indonesia.

budaya politik orde baru

. Pendahuluan Orde Baru yang telah ditinggalkan Bangsa Indonesia telah meninggalkan banyak warisan. Di bidang politik, dominasi eksekutif yang berakhir dengan dominasi lembaga kepresidenan telah menyebabkan banyak kerancuan. Presiden menjadi sangat berkuasa tidak hanya dalam konteks kelembagaan bahkan jabatan presiden telah berubah jadi personifikasi Soeharto. Pada akhir jabatannya, Soeharto seperti mengambil seluruh cabang kekuasaan di luar eksekutif yakni legislatif dan yudikatif.
Di bidang legislatif, presiden yang notabene daya jangkau kekuasaannya dalam bidang eksekutif mencampuri lembaga legislatif bahkan lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden menunjuk utusan golongan dan masyarakat separuh dari 1000 anggota MPR. Secara tak langsung, Soeharto ikut mempengaruhi isi dari lembaga tertinggi negara itu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Artikel ini akan meninjai apa yang jadi basis ideologi Orde Baru selama berkuasa 32 tahun. Dengan menggunakan kerangka yang digunakan Mohtar Masoed (1994), artikel ini berusaha menelusuri pilar-pilar kekuasaan Orde Baru.
Secara ringkas, konsepsi ideologi atau keyakinan terhadap gagasan pada masa Orde Baru bertumpu pada dua kekuatan yakni pembangunisme (developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI. Orde Baru sebenarnya ingin memberangus ideologi dengan melarang ideologi lain selain Pancasila. Namun, tulis R William Lidlle, keyakinan itu muncul karena kesalahan menafsirkan apa yang disebut ideologi. Liddle menilai, masyarakat tanpa ideologi sama dengan masyarakat tanpa konflik dan harapan. Ideologi sendiri sebenarnya menghasilkan peta realitas sosial yang bisa membedakan penyebab penting perilaku manusia dari yang tidak penting dan menjelaskan bagaimana masa lalu membentuk masa kini dan bagaimana masa kini membentuk masa depan. II. Ideologi Pembangunanisme Menurut Mohtar sebelum Orde Baru sudah ada kelompok intelektual yang mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan pada nilai rasionalisme, sekular pragmatisme dan internasionalisme . Nilai-nilai yang berdasarkan pada modernitas sekuler tetap hidup di kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang tahun 1960-an. Gagasan modernitas ini mendapat kekuatan baru karena kembalinya sejumlah intelektual reformasi yang baru meraih gelar doktor di AS dan adanya teori-teori ilmu sosial baru yang mendukun mereka. Sebelum lahir iedologi pembangunan yang digunakan Orde Baru di kemudian hari ada perlunya melihat tiga teori sosial yang mempengaruhi kalangan intelektual tahun 1960-an. Pertama, hipotesis Martin Lipset bahwa demokrasi politik umumnya terjadi setelah keberhasilan pembangunan ekonomi. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi. Ia mengambil kesimpulan ini setelah melihat sejarah pertumbuhan demokras-demokrasi di Barat. Kedua, pemikiran Daneil Bell tentang the end of ideology yang menyebutkan bahwa akibat kemajuan teknologi, pembangunan ekonomi di Barat telah berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi era Revolusi Industri. Oleh karena itu Barat tahun 1960-an menilai politik berdasarkan ideologi sebagai sesuatu yang sudah usang. Ia mengatakan yang berlaku sekarang adalah politik konsensus. Argumen Bell ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern, politisi tradisional harus minggir dan memberikan tempat kepada kalangan pakar yang dikenal dengan nama teknokrat. Ketiga, adanya pengaruh dari teori yang diajukan Samuel Huntington yang mengemukakan akibat negatif dari mobilisasi sosial tak terkendali di masyarakat sedang berkembang. Ia melihat yang penting bagi masyarakat adalah pelembagaan politik. Oleh karena itu pemerintah harus menyalurkan tuntutan rakyat dalam bentuk partisipasi yang tertib. Pemikiran yang berkembang di dunia internasional yang kemudian berdampak kepada kalangan intelektual yang bergandengan dengan Presiden Soeharto itu sangat kuat untuk melahirkan ideologi pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan merupakan titik strategis bagi Orde Baru untuk membangun Indonesia yang ditinggalkan Orde Lama. Mohtar Maso’ed mencatat unsur-unsur dari ideologi pembangunanisme ini. Dari berbagai pandangan awal Orde Baru, karya tulis Ali Moertopo (1972) menunjukkan pengaruh dari kalangan intelektual sipil yang mengelilinginya. Unsur-unsur ideologi ini adalah pembuatan kebijakan publik yang rasional, efisiensi, efektivitas dan pragmatisme. Unsur-unsur ini mengutamakan ketertiban. Oleh karena itu kemudian dirumuskan dalam bentuk pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Dwifungsi ABRI Berbicara soal ideologi yang kuat selama Orde Baru tak bisa dilepaskan dari doktrin wifungsi ABRI. Sebagai salah satu kekuatan yang tersisa setelah Partai Komunis Indonesia hancur, ABRI mau tidak mau menambah perannya tidak sekedar kekuatan pertahanan dan keamanan tetapi juga kekuatan sosial dan politik. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa stabilitas politik bisa tercipta kalau ada campur tangan ABRI dalam politik. Untuk itu ABRI mencari pembenaran campur tangan dalam politik. Namun pada awal perdebatan tentang peran ABRI, Mohtar memetakan persoalan yang dihadapi ABRI pada masa itu yang berpengaruh pada 32 tahun kemudian. Pada umumnya di kalangan ABRI dan intelektual yang bekerja sama dengan mereka terdapat perbedaan mengenai bagaimana sistem politik harus dibangun setelah Orde Lama runtuh. Kemudian berkembang dua peta pemikiran yang menghendaki reformasi sekarang dan nanti.
Kelompok Reformasi-Sekarang Kelompok Reformasi-Nanti
Reformasi politik cepat Anti-oligarki partai Dwifungsi ABRI:Mengutamakan “pembinaan wilayah” dan perwakilan politik dalam MPR Reformasi bertahap Berkompromi dan mengkooptasi kepemimpinan partai yang oligarkisDwifungsi ABRI :Mengutamakan kekaryaan dalam urusan non militer
Sumber: Mohtar, 1994, hal. 42. Mereka yang berpendapat pada reformasi sekarang menghendaki terciptanya sebuah partai massa untuk menandingi partai-partai yang ada. Dengan demikian diharapkan adanya sebuah partai yang pro pada sistem baru dan mendukung tatanan yang sedang dibangun untuk meninggalkan Orde Lama.Sebaliknya pendukung reformasi nanti menganggap penting untuk merebut kekuatan di birokrasi dan DPR. Langkah ini dianggapnya lebih penting ketimbang membentuk partai baru yang bisa dikalahkan kekuatannya di desa-desa oleh PNI dan NU. Dalam proses berikutnya, reformasi nanti mendapat tempat sehingga memperkuat dwifungsi ABRI dan membuka jalan bagi terpeliharanya posisi ABRI dalam politik. Apalagi gagasan Abdul Haris Nasution tentang dwifungsi yang dikatakan hanya sementara tidak tertarik lagi karena sudah terlalu dalam campur tangan ABRI dalam politik. Muncullah kemudian campur tangan dalam pemerintahan yang menggunakan kedok kekaryaan. Konsep kekaryaan ini lalu berkembang menjadi tak terkontrol sehingga akhirnya banyak sekali jabatan sipil baik di badan legislatif, eksekutif maupun yudikatif dipegang kalangan militer. Fenomena ini melahirkan transformasi struktur dan budaya militer masuk kedalam struktur eksekutif.
Penutup Secara sekilas telah diuraikan bahwa basis ideologi Orde Baru merujuk pada pembangunanisme dan Dwifungsi. Ini berarti bahwa dalam prakteknya, Orde Baru menggunakan lebih banyak keyakinan akan dua hal itu dibandingkan dengan Pancasila yang diakui sebagai ideologi negara. Alergi akan ideologi yang dialami kalangan intelektual pada era 1960-an merupakan salah satu penyebab mengapa pembangunanisme jadi dominan dalam prakteknya.Karena pembangunan menghendaki stabilitas maka dwifungsi ABRI jadi jaminan sehingga muncul keyakinan akan Doktrin Dwifungsi itu sebagai penyelamat pembangunan.
Daftar Pustaka Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978. Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
Anne Booth dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah, Ekonomi Orde Baru: The Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Benedict Anderson dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.
Liddle, Ri William, Cultural and class politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 1977. Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980.
Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia Press, 1971. Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation. Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.
Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds), Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika, 1995.
Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.